PsyCulture Nov 2013 | Page 10

D

MAIDO DALAM BUDAYA JAWA

alam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jawa tentu tidak asing dengan istilah maido. Misalnya ketika seseorang tidak puas dengan pekerjaan

orang lain. Sebagai orang Jawa, orang ini mungkin akan berkomentar, "Halah, kowe ki ngapa, ngono wae ora isa".” atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan, “Alah, kamu ini mengapa, begitu saja tidak bisa.” Orang ini mungkin beranggapan bahwa tindakannya ini semata-mata hanya asal bunyi dan tidak benar-benar bermaksud merendahkan lawan bicaranya. Namun, bagi lawan bicara, apa yang didengarnya dapat menjadi sebuah penolakan atas apa yang telah ia kerjakan. Di lain kesempatan, orang yang menjadi lawan bicara ini cenderung akan menilai buruk orang yang telah maidoninya.

Meski maido merupakan salah satu budaya yang berkembang di Jawa, ia tidak lantas menduduki posisi sentral dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sebuah jurnal yang berjudul ‘Maido: “Umbai Cacing” Kebudayaan Jawa yang Membusuk’ karya Bagus Riyono dan Yurisa Nurhidayati disebutkan bahwa maido merupakan salah satu hal yang tidak dapat dihilangkan dari budaya Jawa tetapi juga bukan merupakan hal menarik yang dapat dijadikan gambaran umum tentang masyarakat Jawa.

Jurnal tersebut bertujuan untuk memahami makna dan asal muasal sikap maido dalam masyarakat Jawa. Dari berapa respon yang diperoleh, dirumuskan bahwa maido dimaknai sebagai berpikir kritis. Namun terdapat perpaduan bentuk penyangkalan (denialism), penolakan, apatis, skeptis atau ketidakpercayaan, dan terkadang ada kesan merendahkan orang lain. Maido juga dimaknai sebagai ekspresi emosi, untuk mempertanyakan kembali suatu pernyataan agar orang yang memberi pernyataan berpikir ulang atas apa yang disampaikannya.

Maido juga dapat dikaitkan dengan paidon (tempat meludah), demikian ungkap salah satu respoden. Pendapat salah satu responden ini dapat dijelaskan bahwa maido merupakan hal negatif karena bagaimana pun ludah merupakan sesuatu yang menjijikkan dan tidak pantas bila meludah di sembarang tempat.

"Halah, kowe ki ngapa, ngono wae ora isa", atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan, "Alah, kamu ini mengapa, begitu saja tidak bisa."

Dalam jurnal di atas, Wisma Nugroho Christianto Rich. Drs. M. Hum., pakar sastra Jawa dari Fakulta Sastra Nusantara UGM, menyebutkan bahwa maido sebenarnya merupakan sikap netral. Maido dapat diartikan positif atau negatif tergntung pada konteksnya. Namun, penelitian dalam jurnal di atas menyimpulkan bahwa maido tidak menempati posisi sentral dalam budaya Jawa dan maido telah kehilangan makna positifnya. Pada akhirnya, maido hanya dikenal sebagai sikap negatif yang tidak selayaknya diperlihatkan.

Nurul Khusniyati

Psikologi UGM 2012