Pialang edisi 14 oktober 2013 | 页面 19

TOP STORY rakyat (Heidenheimer-Johnson, 1949). Watak kekuasaan yang absolut, tanpa kontrol, membuka ruang bagi penguasa dan orang-orang yang berada di sekitar kekuasaan, leluasa mengeruk upeti. Fenomena korupsi sentralistis bisa dilihat saat rezim Orde Baru berkuasa. Kekuasaan yang sentralistik kala itu menampakkan wujudnya yang serakah hingga melanggengkan kekuasaannya selama 32 tahun. Demikian pula karakter kekuasaan yang desentralistis. Korupsi pun menjalar ke daerah-daerah setelah pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Era otonomi yang dimulai sejak 2002, setelah diterapkannya Undang-Undang (UU) Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU Nomor 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, membuat gubernur, bupati atau wali kota memiliki kekuasaan yang sangat kuat dalam mengatur dan mengelola keuangan daerah. Awalnya, desentralisasi kewenangan itu diarahkan agar makin mendekatkan hubungan antara politisi yang duduk di pemerintahan maupun PIALANG INDONESIA PIALANG INDONESIA 19 19 di lembaga legislatif dengan rakyat dan makin memudahkan proses pembangunan dan pelayanan pemerintah kepada masyarakat di daerah. Nyatanya, otonomi daerah justru membawa malapetaka karena lemahnya kontrol dan partisipasi publik. Otonomi daerah memunculkan raja-raja kecil yang menguras kas daerah. Sudah begitu banyak kepala daerah yang dijebloskan ke penjara karena korupsi. Pada Mei 2012, Kementerian Dalam Negeri memublikasikan data statistik yang menunjukkan kerakusan para pejabat. Bayangkan, dari 524 kepala daerah, 173 terlibat kasus korupsi. Dan, seperti diutarakan Aristoteles, karakter kekuasaan mempengaruhi watak perilaku korupsi, maka tatkala kekuasaan eksekutif dialihkan ke legislatif, praktik korupsi pun bergeser ke ranah legislatif. Penguatan kewenangan legislatif justru dimanfaatkan anggota legislatif untuk mengapitalisasikan suaranya saat memilih kepala daerah. Seorang kandidat yang ingin menjadi kepala daerah atau mempertahankan kekuasaan harus berkoalisi dengan DPRD. Dukungan dari DPRD itu yang kemudian dikapitalisasikan oleh DPRD lewat politik uang (money politics). Mereka juga mencari celah untuk mendapatkan uang haram dengan cara memainkan penyusunan mata anggaran daerah. Mereka berkoalisi dengan pejabat pemerintah daerah untuk mengutak-atik anggaran, tanpa mengedepankan rasionalitas dan ke- EDISI 14 OKTOBER 2013 EDISI 14 OKTOBER 2013