TOP STORY
rakyat (Heidenheimer-Johnson, 1949).
Watak kekuasaan yang absolut, tanpa kontrol, membuka ruang bagi penguasa dan orang-orang yang berada di
sekitar kekuasaan, leluasa mengeruk
upeti. Fenomena korupsi sentralistis bisa dilihat saat rezim Orde Baru
berkuasa. Kekuasaan yang sentralistik kala itu menampakkan wujudnya
yang serakah hingga melanggengkan
kekuasaannya selama 32 tahun.
Demikian pula karakter kekuasaan
yang desentralistis. Korupsi pun menjalar ke daerah-daerah setelah pemerintah pusat mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam
mengelola
keuangan
daerah.
Era
otonomi yang
dimulai sejak 2002,
setelah
diterapkannya
Undang-Undang (UU) Nomor 22/1999
tentang Pemerintahan Daerah yang
menggantikan UU Nomor 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah, membuat gubernur, bupati
atau wali kota memiliki kekuasaan
yang sangat kuat dalam mengatur dan
mengelola keuangan daerah.
Awalnya,
desentralisasi
kewenangan itu diarahkan agar makin
mendekatkan hubungan antara politisi
yang duduk di pemerintahan maupun
PIALANG INDONESIA
PIALANG INDONESIA
19
19
di lembaga legislatif dengan rakyat
dan makin memudahkan proses pembangunan dan pelayanan pemerintah
kepada masyarakat di daerah. Nyatanya, otonomi daerah justru membawa
malapetaka karena lemahnya kontrol
dan partisipasi publik. Otonomi daerah memunculkan raja-raja kecil yang
menguras kas daerah. Sudah begitu
banyak kepala daerah yang dijebloskan ke penjara karena korupsi. Pada
Mei 2012, Kementerian Dalam Negeri
memublikasikan data statistik yang
menunjukkan kerakusan para pejabat.
Bayangkan, dari 524 kepala daerah,
173 terlibat kasus korupsi.
Dan, seperti diutarakan Aristoteles,
karakter kekuasaan mempengaruhi
watak perilaku korupsi, maka tatkala
kekuasaan eksekutif dialihkan ke legislatif, praktik korupsi pun bergeser ke
ranah legislatif. Penguatan kewenangan legislatif justru dimanfaatkan anggota legislatif untuk mengapitalisasikan suaranya saat memilih kepala
daerah. Seorang kandidat yang ingin
menjadi kepala daerah atau mempertahankan kekuasaan harus berkoalisi
dengan DPRD. Dukungan dari DPRD
itu yang kemudian dikapitalisasikan
oleh DPRD lewat politik uang (money
politics). Mereka juga mencari celah
untuk mendapatkan uang haram dengan cara memainkan penyusunan mata
anggaran daerah. Mereka berkoalisi
dengan pejabat pemerintah daerah
untuk mengutak-atik anggaran, tanpa
mengedepankan rasionalitas dan ke-
EDISI 14 OKTOBER 2013
EDISI 14 OKTOBER 2013