Oil & Gas Indonesia (OGI) edisi 11 | 页面 18

Laput D ari sisi legislasi maupun kebijakan pemerintah, sebenarnya dorongan untuk pemanfaatan EBT sudah lebih dari cukup. Pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional telah menginstruksikan agar secara bertahap bauran energi nasional yang saat ini masih didominasi oleh energi yang berasal dari minyak bumi, sekitar 85 persen, diubah menjadi energi alternatif lainnya yang di dalamnya memasukkan EBT sebanyak 17 persen pada 2025. Anggota DPR-RI Komisi VII dari partai Golkar, Boby Rizaldy sampai saat ini mengutarakan EBT berjalan sudah bagus. “Secara legalisasi, kita ingin pastikan di KEN, ini adalah alokasinya,” katanya kepada Majalah Oil&Gas Indonesia. Namun, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini menyatakan keprihatinannya pada perkembangan EBT di Indonesia. Padahal, kita semua tahu, negeri yang terletak di zamrud katulistiwa ini punya sumber energi dari tenaga sinar matahari, tenaga angin dan sebagainya yang seharusnya bisa dikembangkan, Rudi berpendapat, permasalahannya saat ini adanya dua jenis energi yang bertanding, yaitu EBT yang harganya mahal dan tidak disubsidi dengan bahan bakar minyak (BBM) disubsidi. Sehingga, yang menang pasti yang disubsidi. Sejatinya, bila energi baru terbarukan bisa diminati oleh masyarakat seyogyanya pemerintah memberikan subisdi. “Saat ini, harga bioetanol yang dibuat dari buah jarak sudah mencapai Rp7.000, sedangkan BBM Rp6.500. Ya tidak akan bisa menang. Makanya giliran EBT yang mulai disubsidi. Harga Rp7.000 dibeli pemerintah, dijual ke pasar Rp5.000. Lambat laun EBT bisa mulai berkembang, bahkan bisa tanpa subsidi,” ujar Rudi yang dilansir dari MigasReview.com beberapa waktu lalu. Karena itu Energi Baru dan Terbarukan (EBT) harus mulai dikembangkan dan dikuasai sejak dini, 18 & OG I N D O N E S I A Edisi 11 Tahun I / 2013