Laput
D
ari sisi legislasi maupun kebijakan
pemerintah, sebenarnya
dorongan untuk pemanfaatan
EBT sudah lebih dari cukup. Pemerintah
melalui Peraturan Presiden No. 5/2006
tentang Kebijakan Energi Nasional telah
menginstruksikan agar secara bertahap
bauran energi nasional yang saat ini masih
didominasi oleh energi yang berasal dari
minyak bumi, sekitar 85 persen, diubah
menjadi energi alternatif lainnya yang di
dalamnya memasukkan EBT sebanyak 17
persen pada 2025.
Anggota DPR-RI Komisi VII dari partai
Golkar, Boby Rizaldy sampai saat ini
mengutarakan EBT berjalan sudah bagus.
“Secara legalisasi, kita ingin pastikan
di KEN, ini adalah alokasinya,” katanya
kepada Majalah Oil&Gas Indonesia.
Namun, Kepala Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan
Gas Bumi (SKK Migas) Rudi Rubiandini
menyatakan keprihatinannya pada
perkembangan EBT di Indonesia. Padahal,
kita semua tahu, negeri yang terletak
di zamrud katulistiwa ini punya sumber
energi dari tenaga sinar matahari, tenaga
angin dan sebagainya yang seharusnya
bisa dikembangkan,
Rudi berpendapat, permasalahannya
saat ini adanya dua jenis energi yang
bertanding, yaitu EBT yang harganya
mahal dan tidak disubsidi dengan bahan
bakar minyak (BBM) disubsidi. Sehingga,
yang menang pasti yang disubsidi.
Sejatinya, bila energi baru terbarukan
bisa diminati oleh masyarakat seyogyanya
pemerintah memberikan subisdi. “Saat
ini, harga bioetanol yang dibuat dari buah
jarak sudah mencapai Rp7.000, sedangkan
BBM Rp6.500. Ya tidak akan bisa menang.
Makanya giliran EBT yang mulai disubsidi.
Harga Rp7.000 dibeli pemerintah, dijual
ke pasar Rp5.000. Lambat laun EBT bisa
mulai berkembang, bahkan bisa tanpa
subsidi,” ujar Rudi yang dilansir dari
MigasReview.com beberapa waktu lalu.
Karena itu Energi Baru dan
Terbarukan (EBT) harus mulai
dikembangkan dan dikuasai sejak dini,
18
&
OG I N D O N E S I A
Edisi 11 Tahun I / 2013