102
DARI ANDA
“ Setiap jenis ikan, saat kecilnya merupakan ikan hias”, ujar Ruby saat membuka paparannya. Pria yang pernah terlibat dalam kerja sama penelitian antara IRD Prancis dan KKP Indonesia untuk ikan coelacanth, ikan hias clown loach, ikan buta dari perairan gua karst, dan ikan hias rainbow Papua ini juga mengungkapkan bahwa tingginya animo masyarakat tak lepas dari manfaat ikan hias itu sendiri, mulai dari aspek ekonomi, kesehatan, psikologi, dan konservasi. Bahkan ilmu pengetahuan pun, saat ini lebih memilih ikan hias Zebra( Danio rerio) sebagai pengganti tikus percobaan untuk mempelajari penyakit pada manusia.
“ Dengan karakter pasar yang selalu menuntut variasi, jenis baru ikan hias budidaya dapat diperoleh dari hasil domestikasi ikan alam dan ikan introduksi, rekayasa genetika, serta pemuliaan”, sambung Ruby. Pada kegiatan pemuliaan, variasi ikan hias. Menurut Ruby, di antaranya dapat diperoleh melalui pengembangan terhadap karakter warna.
Namun warna ini sangat bergantung terhadap gen, tidak spesifik, dan saling terkait dengan gen lain. Kondisi ini berimbas pada hasil“ pewarnaan” ikan hias yang bersifat acak dan mengandalkan faktor keberuntungan.“ Semakin unik warna ikan tersebut, baik bentuk, jenis, kombinasi, ataupun pola warna, maka semakin tinggi pula harganya” ujar Ruby.
Pada pemuliaan, pengukuran warna diperlukan untuk mengetahui status awal kondisi warna ikan hias yang akan dimuliabiakan agar dapat ditingkatkan kualitasnya ke level yang lebih tinggi atau pembentukan strain-strain warna baru.“ Pada tahap selanjutnya, pengukuran warna ini digunakan untuk evaluasi tingkat keberhasilan setiap tahap pemuliaan” jelas Ruby.
Saat ini, Ruby tengah mencoba untuk“ mengangka-kan” warna. Sehingga harapannya ikan hias akan memiliki standar baku penyebutan karakter warna“ cerah”,“ kereng”,“ soft” atau“ unik”.
Ada beberapa jenis model warna, di antaranya RGB, CMYK, dan HSB. Pada tahap awal ini model HSB( Hue, Saturation, and Brightness) digunakan untuk mengarakterisasi warna, karena lebih merujuk pada konsep penglihatan mata manusia.
Pengukuran warna dimulai dengan mengambil foto ikan hias yang menjadi target penelitian. Selanjutnya, warna ikan pada foto tersebut dianalisis dengan aplikasi ImageJ dan Photoshop untuk memperoleh nilai digital HSB dari jenis warna yang ditakar. Termasuk di dalamnya juga penilaian terhadap pola, tutupan, hingga kombinasi warna. Kualitas warna ikan yang bagus, secara detil, saat ini dimiliki oleh“ ikan badut( Clown fish) yang memiliki
Dok. Pribadi
Hue 26; Saturation 68; Brightness 66; dengan luas tutupan oranye 83 %”.
“ Penelitian ini masih membutuhkan perbaikan” jelas Ruby. Menurut Ruby, diperlukan standar pengambilan foto. Untuk standar pencahayaan, misalnya, dapat diatasi dengan“ color box”. Belum lagi pada pengaturan diafragma dan shutter speed kamera. Color gamut juga menjadi masalah lain, yakni kondisi yang menjelaskan seberapa baik warna objek ditampikan di layar monitor, baik itu layar pada kamera maupun di komputer.
“ Perlu alat ukur color gamut untuk mampu mengoreksi bias atau menggunakan monitor yang telah terkoreksi gamut” ujar Bagus Hendrajana yang merupakan pemerhati disain grafis pada Pusat Riset Perikanan.
Kelemahan-kelemahan tersebut tentu tidak seharusnya menjadi penghambat kreativitas kita. Kolaborasi konstruktif ditawarkan oleh Ruby agar mampu memperbaiki kekurangan yang ada. Sehingga diperoleh metode baku karakterisasi warna pada ikan hias yang mampu meminimalkan bias. Kolaborasi akan menambah“ warna” pada aktivitas kamu tentunya. Mari berkolaborasi dan berbagi!
MINA BAHARI | Agustus 2017