LAPORAN UTAMA
‘ BPP Minded’ di daerah. Sehingga beberapa daerah masih menganggap, jika BPP merupakan lembaga yang belum penting.
“ BPP masih dianggap belum penting oleh beberapa daerah, dan menjadi urusan yang kesekian. Mereka lebih mengutamakan pembentukan semacam Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah( BPKAD) atau perangkat lain ketimbang BPP,” tutur Domoe.
Menurut Domoe, BPP harus memunyai strategi baru di antaranya dengan merevitalisasi pola pikir( mindset) tentang BPP. Sebenarnya BPP sebagai lembaga riset dengan SDM profesional, dalam bidang strategi sosial atau politik, teknologi, dan sebagainya( think tank), dapat menciptakan daerah inovatif. Hal ini harus benar-benar menjadi prioritas kepala daerah maupun DPRD. BPP pun dituntut menjadi lembaga money follow function( di mana pengalokasian anggaran untuk mendanai suatu kegiatan didasarkan pada tugas dan fungsi dari masing-masing satuan kerja), serta diharapkan bisa menjadi lembaga yang kaya fungsi.
Upaya meningkatkan peran dan eksistensi BPP di daerah wajar ditempuh BPP Kemendagri. Namun berdirinya BPP seperti yang diamanatkan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, terbukti belum mampu memberi manfaat yang besar bagi keberlangsungan BPP. Ditambah lagi adanya klasifikasi persyaratan BPP dalam pengganti PP tentang OPD yang dalam waktu dekat akan segera diresmikan dirasa memberatkan.
Tidak bisa disangkal, banyak kepentingan di balik desakan penghapusan pengklasifikasian dan persyaratan pendirian BPP tersebut. Penyamarataan BPP juga dijadikan jalan mudah untuk mengisi kekosongan jabatan. Sebab, pembuatan BPP akan menambah struktur organisasi, alokasi dana juga akan semakin besar.
Kurangnya perhatian BPP Kemendagri juga disebutsebut menambah asumsi BPP daerah miskin fungsi. Masih adanya BPP yang berada di bawah Badan Perencanaan Daerah( Bappeda) menunjukan BPP di daerah masih dipandang sebelah mata.
Akan tetapi, eksistensi BPP di bawah Bappeda tidak serta merta hanya menjadi sebuah lembaga tanpa manfaat. Bidang Litbang Sumatera Barat misalnya, mereka berperan dalam pembangunan di daerahnya. Bidang Litbang Sumbar juga memosisikan lembaganya dengan porsi program kelitbangan yang besar. Tercatat, mereka memiliki banyak peneliti dan produk kelitbangan yang mumpuni.
Di lain pihak, banyak BPP di daerah yang hanya sekadar memenuhi kewajiban pendirian SKPD. Misalnya, masih ditemukannya BPP yang sudah lama berdiri dan tidak memiliki fungsional peneliti, BPP juga tidak menghasilkan produk kelitbangan, seperti minimnya hasil kajian dan regulasi. Sebagai badan yang berdiri sendiri, BPP juga tidak memiliki produk publikasi ilmiah sebagai wadah aktualisasi peneliti, untuk menyampaikan gagasan dan kenaikan angka kredit.
Dari beberapa hal tersebut, tidak heran jika kemudian banyak BPP di daerah menaruh rasa hormat terhadap kementerian lain selain BPP Kemendagri utamanya, yang lebih menganggap keberadaan lembaganya, bahkan tidak jarang memberikan bantuan dana, pelatihan, dan pengembangan.
Dari sederet potret buram tersebut, muncul sejumlah kisah sukses BPP di daerah. Beberapa BPP Daerah tersebut menunjukkan kinerja yang baik menjadi pengawal inovasi, pelayanan inovasi publik, dan pembinaan terhadap inovator. BPP Daerah tersebut tumbuh dan berkembang tanpa ketergantungan terhadap BPP Kemendagri dan berhasil mencetak para inovator dan pengusaha baru di daerahnya.( MSR)
8 VOLUME 1 NO. 2 | JUNI 2016