Majalah Shift Indonesia - ISSUE 6 2013 Maret 2014 | Page 32
Substantials
Pemborosan Tersembunyi
dalam Inisiatif Improvement
Contoh Kasus Perusahaan Transaksional
Case Study
Inisiatif Continuous Improvement seharusnya membuka
peluang untuk berhemat. Tapi jika tidak jeli, bisa-bisa malah
pemborosan yang Anda hasilkan.
Mengapa? Karena ternyata
perusahaan-perusahaan yang
menjalankan inisiatif improvement
seringkali melupakan asas dasar
dari improvement itu sendiri, yakni
VALUE.
Sedikit mengingat kembali, value
adalah sesuatu yang dianggap
penting untuk pelanggan, sehingga
mereka mau membayar untuk itu.
Singkatnya, value adalah faktor
yang mendorong pelanggan untuk
membeli.
Karena asas dasar telah dilupakan,
maka walaupun perusahaan telah
melakukan improvement., namun
hasil improvement tidak dapat
dirasakan oleh pelanggan sehingga
improvement menjadi semu.
Sangat berbahaya karena alih-alih
menghasilkan value, improvement
hanya akan menjadi pemborosan
tersembunyi sekaligus menimbulkan
propaganda negatif yang menjadi
bumerang bagi perusahaan.
Waduh! Apa maksudnya ya?
Oleh Rifki Rizal Ahmad,
Konsultan Senior Lean Six Sigma, Master Black
Belt, SSCX International
32 | Shift Issue I | 2014
Begini, pernahkah Anda mendengar
sebuah perusahaan yang mengklaim
bahwa proses transaksional di
perusahaannya, misalnya proses
leasing, peminjaman uang, ekspor
impor, pembuatan polis asuransi,
pasti bisa selesai dalam 8 jam?
Perusahaan bisa saja mengklaim
bahwa proses mereka cepat dan
terjamin konsistensinya, karena
telah melakukan improvement dan
membuat sistem yang bagus. Tapi
kenyataannya, pelanggan malah
merasa proses transaksional itu
cukup lama. Mereka merasa sudah
memasukkan aplikasi seminggu yang
lalu, dan baru akan selesai di minggu
berikutnya. Pelanggan-pun berpikir
negatif: “Mana, katanya 8 jam?
Kenyataannya, 2 minggu!”.
Lalu dimana masalah sebenarnya
berada?
Jika perusahaan lebih jeli, mereka
akan menemukan beberapa hal di
lapangan yang selama ini luput dari
perhatian, seperti salah persepsi
antara perusahaan dan pelanggan.
Contohnya antara lain:
PERTAMA: Salah Persepsi
Mengenai Waktu Penyelesaian
Proses
Internal perusahaan selalu baru
mulai menghitung argo (misalnya
proses 8 jam) pada saat persyaratan
dari pelanggan sudah LENGKAP,
padahal menurut perspektif
pelanggan, argo tersebut sudah
mulai berjalan pada saat aplikasi
DISERAHKAN.
Disclaimer yang menyebutkan saat
persyaratan sudah lengkap inilah
yang selama ini sering jadi letak
Ternyata perusahaanperusahaan yang
menjalankan inisiatif
improvement seringkali
melupakan asas dasar
dari improvement itu
sendiri, yakni VALUE.
perbedaan (dan sumber masalah)
yang tidak dikomunikasikan kepada
pelanggan. Disinilah perusahaan
seringkali terjebak dalam ketidakjelian dalam melihat gap. Masih
banyak organisasi yang belum
memiliki prosedur atau sistem dalam
menjalankan inisiatif perbaikan.
Padahal, untuk perusahaan
transaksional khususnya, mereka
harus memastikan bahwa pada
setelah aplikasi diterima dan begitu
semua persyaratan sudah lengkap,
argo mulai dihitung. Ingat, persepsi
kebanyakan pelanggan adalah argo
sudah mulai berjalan pada saat
aplikasi diserahkan.
Selain kasus aplikasi yang diserahkan
dengan persyaratan yang tidak
lengkap, cukup sering ditemukan
aplikasi dan persyaratan sudah
lengkap namun diinput ke sistemnya
beberapa hari kemudian. Kembali,
prosedur, sistem, atau inisiatif
perbaikan untuk memastikan hal
ini menjadi sangat penting agar
klaim 8 jam proses betul-betul dapat
dirasakan pelanggan.
Jika dirangkai dalam kalimat
singkat: Seringkali perusahaan tidak
menyadari dan tidak menghitung
waktu tunggu yang ada diantara
setelah aplikasi diserahkan dan
ketika persyaratan telah lengkap (dan
diinput kedalam sistem). Padahal,
kenyataannya pelanggan merasa
telah menunggu lama. Kejadian
ini menunjukkan organisasi masih
belum “berpusat pada pelanggan”
(customer-centric/value based
organization).
2014 | Shift Issue I | 33