Dari
Dapur
Saya percaya dengan ungkapan bahwa manusia tidak akan pernah menang
melawan waktu. Jangankan menang, untuk bertatap muka dan bertarung saja
barangkali tidak akan bisa. Entitas yang satu ini sudah disejajarkan dengan kekuatan
alam. Ia bisa mengikis apapun, termasuk semangat—sepadat apapun semangat itu.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana waktu mengikis semangat saya dan temanteman ketika harus menyelesaikan majalah ini. Ada begitu banyak masalah yang
timbul—kebanyakan tiba-tiba, dan menggagalkan ekspetasi kami untuk menerbitkan
majalah sesuai dengan waktunya. Untuk itu, saya meminta maaf yang sebesarbesarnya.
Dalam majalah ini, secara tidak langsung ada benang merah pembahasan di
balik layar mengenai garis waktu yang membentang di sana-sini. Yang pertama
adalah mengenai pergerakan mahasiswa yang mulai bergeser. Mau tidak mau,
pergerakan besar ini harus menuruti kehendak zaman dengan menyesuaikan diri
dengan perkembangan teknologi. Namun apa perkembangan tersebut pada akhirnya
membuat pergerakan mahasiswa menjadi lebih baik?
Berikutnya adalah mengenai liputan khusus tentang adanya gengsi ormawa di
Polines. Barangkali warisan ideologi dan pesan yang diturunkan secara temurun dari
generasi ke generasi secara tidak langsung membentuk kecenderungan tersebut.
Keinginan untuk bersaing—dengan ormawa lain, dengan angkatan sebelumnya,
dengan departemen sebelahnya.
Selain itu ada pembahasan mengenai kuliner legendaris dari Kalibeluk, beberapa
liputan tentang kampus tercinta—Polines, serta liburan murah ke salah satu
museum di Surabaya. Tak lupa pula, saya merekomendasikan Anda membaca cerpen
romantis yang terselip di majalah ini.
Pada akhirnya, waktu pula yang akan menunjukkan kelemahan dari sesuatu.
Begitupun majalah ini, pasti ada kekurangan di sana-sini. Tapi saya berharap, dari
catatan-catatan tersebut, ada pelajaran yang bisa diambil—terutama untuk generasi
berikutnya.
Hidup Pers Mahasiswa!
DIMENSI | 5