Majalah Digital Kabari Edisi 91 - 2014 | Page 34

FIKSI PUISI CINTA Bagian Akhir oleh Billy Kurniadi A khirnya pagi menyongsong untuk mengakhiri penderitaanku, menjadi layaknya mayat hidup, melek dalam rindu sepanjang malam. Gelisah sekali rasanya, ingin diajak kemana..akan seromantis apa, beserta segudang bayangan indah bersama Hendra. Apakah perasaannya terhadapku memang sedalam semua Puisi Cintanya, atau cuma manis di bibir lain di hati. Semuanya membahana, mengusik diriku untuk kembali melirik HP dan terlena dalam manisnya katakata sebagai sarapan batinku yang lapar baik karena cinta, ataupun semangkuk Indomie hangat.. “Dalam diamnya indah Kala ucapnya menawan Membuat semalam menjadi lamunan Aku ingin menemani dalam sadarmu Kita tidak sendirian Walau jarak merentang Nurani saling menggenggam Tuk jelang kembali malam Indah dalam syahdunya” “Wah2..pagi-pagi begini udah kumat sang penyair cinta. Boro-boro terukir indah. Perutku lapar..masih gemes inget Fara gandeng kamu. Tapiii, aku sukaaa..terima kasih Hendra, untuk pagi yang mempesona, sampe jumpa nanti malam sayang” Ucapku membatin ga jelas, sambil membuat adegan yang nggak ada keren2nya, mengecup layar HPku! Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi Hendra belum juga datang. Aku sudah berdandan secantik mungkin, ga asik banget kalo sampe keringetan. Hingga sebuah SMS konyol menyelinap.. “hmm..gara-gara ini ya kamu ga jawab sms dan ga angkat telp aku?” Tanya Hendra kencan yang ke dua puluh, jangan-jangan bisa menyelidik berlima sekaligus kali ya. “Ih, nggak..enak aja. Geer banget!” Meski Tapi untungnya, pukul Sembilan lewat lima tepat banget sekali pertanyaannya. belas menit Hendra pun tiba. Aku hanya dapat ijin keluar malam hingga jam dua belas “Kirain, yang jelas dia udah seperti adik aku malam. Tinggal dua jam lebih waktu yang sendiri dan saat ini sungguh cuma kamu yang bisa kita habiskan bersama, plus perutku yang ada di hati aku. Sebentar lagi kamu akan tau keroncongan karena belum makan hingga kenapa.” larut malam. Berdebar ga karuan perasaanku mendengar Hanya saja semua itu segera sirna, saat perkataan Sang Penyair barusan, entah Hendra turun dari mobil jeep hitamnya. Saat benar atau tidak. Tapi yang pasti aku seperti aku liat wajahnya, senyum tak berdosa dan melayang mendengarnya, penasaran dan.. tatapan lembut matanya. Yang ada hanya makin cinta. balasan senyum termanis yang kupunya. Ternyata Hendra mengajakku ke sebuah taman Kota yang dulu sering kukunjungi “Hi Sofie, maaf ya aku terlambat” bersama ayah. “Iya, ga apa-apa koq” “Waktu kita kecil dulu, aku sering duduk di “Kamu cantik sekali” Puji Hendra, tidak bawah pohon ini dan melihat kamu bersama menyia-nyiakan seluruh perjuanganku untuk ayah kamu. Sebagai seorang anak Yatim, aku tampil semaksimal mungkin malam itu. sangat terpesona melihat kemesraan kalian. Semua puisi indah ayah kamu, semuanya “Mau kemana kita?” tidak terlupakan olehku” “Tidak jauh dari sini, ke tempat yang mungkin ak [