FIKSI
PUISI CINTA Bagian Akhir
oleh Billy Kurniadi
A
khirnya pagi menyongsong untuk
mengakhiri
penderitaanku,
menjadi layaknya mayat hidup,
melek dalam rindu sepanjang
malam. Gelisah sekali rasanya, ingin diajak
kemana..akan seromantis apa, beserta
segudang bayangan indah bersama Hendra.
Apakah perasaannya terhadapku memang
sedalam semua Puisi Cintanya, atau cuma
manis di bibir lain di hati. Semuanya
membahana, mengusik diriku untuk kembali
melirik HP dan terlena dalam manisnya katakata sebagai sarapan batinku yang lapar baik
karena cinta, ataupun semangkuk Indomie
hangat..
“Dalam diamnya indah
Kala ucapnya menawan
Membuat semalam menjadi lamunan
Aku ingin menemani dalam sadarmu
Kita tidak sendirian
Walau jarak merentang
Nurani saling menggenggam
Tuk jelang kembali malam
Indah dalam syahdunya”
“Wah2..pagi-pagi begini udah kumat sang
penyair cinta. Boro-boro terukir indah.
Perutku lapar..masih gemes inget Fara
gandeng kamu. Tapiii, aku sukaaa..terima
kasih Hendra, untuk pagi yang mempesona,
sampe jumpa nanti malam sayang” Ucapku
membatin ga jelas, sambil membuat adegan
yang nggak ada keren2nya, mengecup layar
HPku!
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam,
tapi Hendra belum juga datang. Aku sudah
berdandan secantik mungkin, ga asik banget
kalo sampe keringetan. Hingga sebuah SMS
konyol menyelinap..
“hmm..gara-gara ini ya kamu ga jawab sms
dan ga angkat telp aku?” Tanya Hendra
kencan yang ke dua puluh, jangan-jangan bisa menyelidik
berlima sekaligus kali ya.
“Ih, nggak..enak aja. Geer banget!” Meski
Tapi untungnya, pukul Sembilan lewat lima tepat banget sekali pertanyaannya.
belas menit Hendra pun tiba. Aku hanya
dapat ijin keluar malam hingga jam dua belas “Kirain, yang jelas dia udah seperti adik aku
malam. Tinggal dua jam lebih waktu yang sendiri dan saat ini sungguh cuma kamu yang
bisa kita habiskan bersama, plus perutku yang ada di hati aku. Sebentar lagi kamu akan tau
keroncongan karena belum makan hingga kenapa.”
larut malam.
Berdebar ga karuan perasaanku mendengar
Hanya saja semua itu segera sirna, saat perkataan Sang Penyair barusan, entah
Hendra turun dari mobil jeep hitamnya. Saat benar atau tidak. Tapi yang pasti aku seperti
aku liat wajahnya, senyum tak berdosa dan melayang mendengarnya, penasaran dan..
tatapan lembut matanya. Yang ada hanya makin cinta.
balasan senyum termanis yang kupunya.
Ternyata Hendra mengajakku ke sebuah
taman Kota yang dulu sering kukunjungi
“Hi Sofie, maaf ya aku terlambat”
bersama ayah.
“Iya, ga apa-apa koq”
“Waktu kita kecil dulu, aku sering duduk di
“Kamu cantik sekali” Puji Hendra, tidak bawah pohon ini dan melihat kamu bersama
menyia-nyiakan seluruh perjuanganku untuk ayah kamu. Sebagai seorang anak Yatim, aku
tampil semaksimal mungkin malam itu.
sangat terpesona melihat kemesraan kalian.
Semua puisi indah ayah kamu, semuanya
“Mau kemana kita?”
tidak terlupakan olehku”
“Tidak jauh dari sini, ke tempat yang mungkin
ak [