Majalah AKSI Edisi 1 No.2 / 2013 | Page 13

JENESYS REPORT Pertengahan musim semi dan panas tahun 2013, saya bersama 30 teman dari Indonesia tiba di Bandara Tokyo Narita. Angin sejuk menyambut kami semua. Jepang, akhirnya kami tiba. Kami menantikan pengalaman menarik selama 8 hari kedepan. Pertama kami dikumpulkan bersama seluruh peserta JENESYS 2.0 Batch 2 dari seluruh negara di ASEAN dan dibagi kelompok. Kami diberi pengetahuan dasar tentang Jepang. Panitia bahkan tidak lupa untuk memberi kami bekal bagaimana cara menghadapi gempa bumi karena tingkat kemungkinan gempa di Jepang memang tinggi. Langkah-langkah menghadapi gempa di Jepang tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, hanya saja jika seseorang berada di dalam gedung atau rumah, lebih baik orang tersebut tetap berlindung di dalam rumah. Masyarakat Jepang percaya dengan kualitas bangunan yang mereka bangun dalam hal berhadapan dengan gempa. Hari berikutnya kami pergi dengan bus menuju Tokyo. Masuk ke kota Tokyo, serasa seperti ke peradaban yang jauh berbeda. Gedung-gedung pencakar langit berhimpitan satu sama lain. Hampir tidak disisakan ruang untuk berjalan. Begitu banyak gedung sampai rasanya tidak bisa dihitung. Disinilah kami melihat Jepang yang kami harapkan ketika masih masih berada di negara masing-masing. Pejalan kaki sibuk lalu-lalang dengan kecepatan luar biasa dan mengenakan baju rapih, kalau tidak hitam, putih, ya abu-abu. Segalanya bersih, rapi, dan teratur. Kami pun dikenalkan dengan program AEC (Asean Economic Community) yang adalah program kerjasama antar ASEAN melalui perdagangan bebas. Kerjasama ini tidak akan bisa terjalin sempurna jika tidak ada ikatan dan kesadaran dari negara-negara ASEAN. Maka kami generasi muda ASEAN diharapkan dapat membawa negara-negara ASEAN lebih maju. Jika bicara tentang teknologi, Jepang terkenal dengan Shinkansennya. Kereta super cepat yang lebih nyaman ketimbang pesawat terbang dengan rekor kecepatan maksimum 320 km/jam. Perjalanan dari Tokyo ke Kyoto hanya memakan waktu 2 jam. Selama perjalanan kami di perlihatkan dengan pemandangan pemukiman di Jepang, perkebunan, dan juga Gunung Fuji. Perjalanan yang kami lalui ini seperti memutar balik sejarah. Dari Tokyo, ibu kota Jepang sekarang ke Kyoto, ibu kota Jepang sebelum Kyoto, lalu ke Nara, ibu kota pertama Jepang. Suasana di Nara jauh berbeda den- Majalah AKSI | 13 gan di Tokyo. Nara masih memiliki keasliannya sebagai ibu kota tua di Jepang. Ada banyak temple dan shrine, rumah-rumah bergaya kuno, dan banyak unsur budaya Jepang lainnya yang masih terlihat. Jika di Tokyo saya hanya melihat eksekutif muda, di Nara saya melihat anak-anak SD sedang bertamasya di Nara. Nara sangat terkenal dengan rusa. Banyak rusa-rusa liar yang sudah jinak berkumpul didepan temple atau di taman-taman terbuka. Melihat rusa-rusa ini mengingatkan saya dengan Istana Negara di Bogor yang memiliki banyak rusa juga. Di Jepang, kita juga bisa membeli makanan rusa jika ingin memberi makan rusa. Perlu diingat bahwa di Jepang sangat bersih dan teratur. Mungkin saya bisa menghabiskan satu lembar sendiri untuk membahas keramahan orang-orang di Nara ini. Ketika kami sampai di Nara Prefectural Government kami disambut oleh mereka. Mereka melambai-lambaikan bendera-bendera kecil dari masing-masing negara di ASEAN sambil menyambut kami, membuat kami seperti memasuki sebuah amusement park. Kami mengunjungi temple buddha terbesar, Todai-ji sampai ke sebuah temple kecil penuh bunga, Hanniya-ji. Di Hanniya-ji ini saya mendapat sebuah pengalaman pribadi, karena kami dapat berbincang langsung dengan monk disana. Monk di Jepang berbeda dengan di negara lain, mereka dapat menikah dan memiliki anak, seperti keluarga Kudo di Hanniya-ji. Kudo-San menjelaskan kepada kami mengapa banyak sekali bunga