Jurnal Maritim edisi 5 | Page 59

Abdul Halim “negara kelautan tetapi orientasinya daratan”. Ini pula yang menjadi faktor kecilnya perhatian terhadap matra laut bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal persoalan besar sebuah negeri dengan pantai terpanjang kedua di dunia bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah bagaimana memelihara kedaulatan laut dan memanfaatkan potensinya seoptimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat. Potensi masalah pun muncul di sana. Banyak masalah terjadi di laut: pencurian ikan oleh nelayan asing yang belakangan difasilitasi melalui kebijakan Negara, penyelundupan, pembajakan, dan pencemaran, menunjukkan betapa masih rendahnya orientasi terhadap laut. Berbeda dengan negara-negara tetangga, Indonesia justru tidak bergantung pada perdagangan dan tidak memiliki perhatian ekstra terhadap keselamatan maritim. Indonesia lebih fokus kepada persoalan dalam negeri, seperti pembangunan ekonomi, reformasi politik, integritas wilayah, dan Islam militan (Dela Pena, 2009: 4). Meskipun Indonesia memiliki perjalanan sejarah ketangguhan pelayaran yang panjang, berbagai persoalan mendasar justru masih dihadapi, di antaranya (1) penguasaan teknologi baru yang memungkinkan pemerintah mengawasi laut lemah; (2) pendapatan negara lebih banyak bersumber dari aktivitas ekspor sumber daya alam sehingga mendorong maraknya kompetisi internal untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya. Dalam pada itu pengembangan teknologi kelautan jalan di tempat dan tidak mendapatkan alokasi anggaran semestinya; dan (3) kesulitan mengoordinasikan instansi-instansi pemerintah yang bertanggung jawab kepada persoalan kelautan (Cribb dan Ford, 2009: 13-15). Dalam pemanfaatan laut sebagai penghubung masyarakat kepulauan, Indonesia juga dipandang belum efisien dalam mengembangkan kapal penumpang dan kargo antarpulau. Selain itu, proses peningkatan kapasitasnya juga sangat lemah. Bahkan pada tahun 1981, kapal penumpang Tampomas II tenggelam dan sebanyak 580 jiwa meninggal dunia. Indonesia juga tertinggal dalam mengelola fasilitas pelabuhannya. Di mata masyarakat internasional, pelabuhan-pelabuhan Indonesia dikenal karena lambat, kurang fasilitas, dan manajemennya yang buruk. Data United Nations Conference on Trade and Development (2010) menunjukkan bahwa dari 20 pelabuhan terminal kontainer terbaik di dunia pada 2009, lima di antaranya adalah Singapura, Shanghai, Hong Kong, Shenzhen, dan Busan. Perbedaan antara Singapura dan Shanghai menjadi lebih pendek pada tahun 2009, yakni 864.400 TEUs (tenfoot equivalent units), dari 1,9 juta TEUs di tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun, negara-negara di kawasan terus mengembangkan kapasitas FOTO: PRIBADI Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Peneliti “Islam dan Kemaritiman” Pada Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Diplomasi Universitas Paramadina, Jakarta. ekonomi kelautannya. Ironisnya, Indonesia belum melakukan banyak pembenahan untuk memaksimalkan geostrateginya. Momentum 2014 Indonesia—khususnya, Pulau Sumatera—dan Semenanjung Malaysia di seberang Selat Malaka membentuk jantung maritim Asia. Selat Malaka adalah Fulda Gap dunia multipolar abad ke-21, tempat di mana seluruh jalur pelayaran antara Laut Merah dan Laut Jepang bertemu di jantung rute pelayaran perdagangan dunia; tempat di mana wilayah pengaruh angkatan laut China dan India bertemu; tempat di mana Samudera India terhubung dengan Pasifik Barat. Volume lalu lintas energi kapal tanker akan tumbuh di Selat Malaka setidaknya 50 persen pada tahun 2020, menunjukkan pentingnya selat tersebut (Kaplan, 2011: 261). Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam mengelola Selat Malaka: pertama, dengan memisahkan daratan Indonesia ke dalam bentuk pulau-pulau, laut men 6?F??F?F?v?F?&?F?p????V?6?????&F??6??F?&?????V???v?WB?FV?F?F3?F??VGV???WB??rF?F'W&???V?V?R?V?P?F?F6???F?????FV?2?????W@??W&W&W6V?F6????WV?F??v??7G&FVv?27VGR?Vv&?F?F?&???v???WBFW'6V'WBF?FWF???6V&v???W"???V?6??W@???FW&?6??????V??R#BF?????V?GV?V?&V???F??V?&ƒ?R?F??F?&???Vv&?V?WF???&?F??S???U$?????