Great ISS Februari 2017 | Page 19

TOPINI ( TOPIK TERKINI TIPS)
Rendang Padang

Belajar Kebhinekaan dari Kuliner Nusantara

Anda tentu mengenal kudapan ( cemilan ) yang namanya Bika Ambon . Bentuknya yang unik dengan bagian atas seperti pori-pori besar kulit dan bagian dalam yang berserat , tekstur yang ke nyal dan warna kuning kecoklatan yang khas .

Anda juga pasti tahu yang namanya Pisang Ambon ( lagi-lagi Ambon ? Ya , begitulah ), Rumah Makan Padang , Coto Makassar , Pempek Palembang , dan segala hal yang berhubungan dengan kuliner Nusantara .
Tahukah Anda bahwa Bika Ambon tak ada Coto Makassar hubung annya dengan kota Ambon ? Pisang Ambon juga namanya bukan Pisang Ambon di kota Ambon . Konon , kenapa disebut Bika Ambon , karena kudapan ini pertama kali dijual di sebuah jalan di kota Medan , Sumatera Utara , yang bernama Jalan Ambon . Dan Pisang Ambon di kota Ambon namanya adalah Pisang Meja , karena pisang itu selalu tersaji di meja makan .
Kenapa selalu nama Ambon ? Apakah karena ada ungkapan ‘ ambon manise ’? Atau banyak penyanyi hebat di negeri ini lahir dan berasal dari di Maluku ( yang merupakan propinsi dengan ibukotanya Ambon )? Ada Broery Marantika , Utha Likumahuwa , Ruth Sahanaya , Glen Fredly , dan sederet nama besar lainnya . Entahlah .
Namun , yang jelas tak ada yang marah atau protes dengan nama-nama Bika Ambon atau Pisang Ambon . Juga tak ada protes ketika ada Rumah Makan Padang di Papua . Atau Mie Aceh di Denpasar . Coto Makassar di Flores . Semua orang bisa menerima dan menikmati kudapan , buah dan makanan-makanan yang disajikan . Aman dan damai di negeri ini , kalau kita bicara soal kuliner .
Bayangkan kalau , misalnya , orang-orang Ambon tak sudi nama kotanya dipakai untuk nama Bika kota Medan yang menjadi terkenal di seluruh Indonesia . Lalu mereka mengadakan demo ke Istana atau DPR membawa poster-poster “ Kembalikan Ambon Kami ”, “ Ambon Milik Beta ”, dsb .
Atau , mereka protes nama Pisang Ambon dengan membawa poster dengan tulisan “ Ambon bukan untuk Pisang ” dan yang sejenisnya yang intinya menolak nama kota mereka dipakai untuk nama buah-buahan . Runyam ‘ kan ?
Kenyataannya , hingga kini tak ada protes dari siapa pun dan di mana pun yang berhubungan dengan nama kudapan , makanan atau masakan di seluruh negeri tercinta ini .
Jadi , agak aneh bila belakangan ini ada yang ribut dengan suku , agama , ras dan golongan . Sementara kita selalu berdamai dalam kuliner Nusantara . Kenyataan membuktikan bahwa orang tak perlu khawatir makan Mie Aceh di daerah yang bukan mayoritas orang Aceh atau orang Batak makan di Resto Lapo di sebuah kota yang mana mereka menjadi minoritas .
Sejarah membuktikan bahwa para pemuda di Tanah Air tercinta ini pada 1928 telah bersumpah untuk bersatu dalam segala hal di atas keberagaman berlandaskan satu nama ; Indonesia !
Apa yang membuat saat itu mereka
Pempek Palembang bisa bersumpah untuk bersatu ?
Catatan sejarah telah menorehkan bahwa kebersamaan mereka berdasarkan ikatan kukuh ( indisoluble and permanent nation ) di antara berbagai suku , agama dan bahasa karena mereka mempu­
Bika Ambon nyai semangat kebersamaan , semangat persatuan dan tekad yang sama untuk membentuk negara kesatuan yang dinamakan Indonesia dan kerena satu musuh ( common enemy ); kolonialisme Belanda .
Nah , saat ini , secara kasat mata tidak ada musuh bersama itu . Yang ada justru faktor-faktor kebersamaan yang tak terbantahkan di dunia kuliner . Tak ada salahnya kita belajar dari ‘ kebersamaan ’ dan ‘ perdamaian ’ dunia kuliner Nusantara .
Ada anekdot yang mengatakan bahwa perut lapar bisa membuat orang kalap . Fakta yang ada di negeri ini seharusnya tak boleh membiarkan ada orang yang lapar . Karena tak ada larangan orang makan makanan daerah lain ( tentu kecuali makanan yang memang dilarang agama bagi pemeluknya ). So , tak ada alasan kita tak bisa hidup dalam damai di tengah lautan kekayaan dunia kuliner Nusantara ! l
VOL . 2 NO . 4 FEBRUARI 2017 GREAT ISS
19