Geo Energi januari 2014 | Page 72

daerah “Cinta” Satu Arah di Jalur Three In One Sejatinya, sistem ‘3 in 1’ bertujuan untuk memperlancar lalu lintas di wilayah Ibu Kota Jakarta, terutama pada saat sibuk berangkat dan pulang kerja pada pukul 07.00-10.00 WIB dan pukul 16.30-19.00 WIB. Yang lancar justru bisnis esek-eseknya. D engan berlakunya sistem ini, maka diharapkan dalam satu mobil minimal ada tiga orang penumpang mobil yang satu arah ataupun satu kantor. Pemilik mobil bisa berangkat dengan teman ataupun tetangga yang satu arah dalam satu mobil. Namun dalam praktiknya tak seperti yang diharapkan, para pengumdi yang melintas di kawasan ‘3 in 1’ lebih memilih jasa penumpang gelap alias joki ketimbang berangkat bareng dengan teman ataupun tetangganya. Belakangan, alih-alih berniat mengurai masalah kemacetan, aturan tersebut justru malah mengundang masalah lain. ‘Lapangan pekerjaan baru’ ini ternyata mengundang persoalan berupa penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), para 72 joki terlibat cinta kilat dengan para pengguna jasa mereka. Lihat saja di kawasan jalan protokol Jakarta. Setiap pukul 07.00-10.00 WIB dan pukul 16.00 sampai 19.00 WIB, banyak orang yang berdiri berjajar di pinggir jalan itu. Namun jangan salah, orang-orang tersebut bukan ingin berangkat kerja ataupun pulang kerja, mereka joki ‘3 in 1’ yang tengah berusaha menyiasati Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 4104/2003 tanggal 23 Desember tahun 2003 tentang Penetapan Kawasan Pengendalian Lalu Lintas Dan Kewajiban Mengangkut Paling Sedikit 3 Orang Penumpang Per Kendaraan Pada Ruas-Ruas Jalan Tertentu di Provinsi DKI Jakarta. Sebuah mobil mini van melaju perlahan ke pinggir di Jalan Pakubuwono Jakarta Selatan. Dengan sigap, Nani (nama samaran) dengan menggendong bayinya menghampiri mobil tersebut. Tanpa harus disuruh lagi, Nani langsung buka pintu mobil dan duduk santai di jok belakang. Mobil pun melaju ke arah Thamrin dengan aman. Sampai di Bundaran HI, mobil menepi dan Nani bergegas keluar sambil menggenggam imbalan sebesar Rp 20 ribu di tangannya. “Kalau yang sudah tahu (pengemudi) biasanya telah menyiapkan uang pecahan Rp 20 ribuan,” kata Nani. Perempuan yang pernah bekerja sebagai sales promotion girl (SPG) ini mengaku bisa mengantungi Rp 80 ribu EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 istimewa angkutan umum sebagai tulang punggung transportasi Jakarta. Dengan Perda tersebut, Pemprov DKI menargetkan, pada 2030 tidak ada lagi kemacetan yang terjadi di seluruh wilayahnya. “Target kita tahun 2030 adalah benar-benar menghilangkan kemacetan di Jakarta melalui penyediaan transportasi massal sebanyakbanyaknya. Diharapkan, Jakarta nirkemacetan karena tersedia berbagai angkutan umum dan sudah saling terintegrasi satu sama lain. Kita berharap, pengguna kendaraan pribadi juga mau beralih ke transportasi umum,” kata Kepala Dinas Tata Ruang DKI Jakarta, Gamal Sinurat di Jakarta, Senin (23/12). Dalam Perda RDTR dan PZ, angkutan umum massal sebagai tulang punggung transportasi Jakarta dijabarkan secara mendetail. Penjabaran itu akan dilaksanakan Pemprov DKI secara bertahap selama 17 tahun mendatang. “Perda