istimewa
S
iang itu 5 Desember 2013,
langit Jakarta begitu cerah
setelah sehari sebelumnya
diguyur hujan lebat. Ada
suasana lain dari biasanya di
lantai 9, Gedung City Plaza, Jakarta.
Ratusan orang berkumpul di ruangan
yang sejuk itu. Diskusi yang cukup
seru terdengar dari sebuah ruang
pertemuan yang sering dipakai
oleh SKK Migas itu. Perdebatan kecil
sesekali terdengar. Mereka bergantian
dan bersahutan mengemukakan
pendapat, membahas permasalahan
fasilitas produksi migas dengan sangat
intens, detail, dan komprehensif.
Suara-suara tersebut adalah suara 200
orang anggota Ikatan Ahli Fasilitas
Produksi Minyak dan Gas Bumi
Indonesia (IAFMI) yang terdiri para
ahli, akademisi, dan praktisi yang
berkutat langsung dalam bisnis surface
facilities. Siang itu, para anggota
IAFMI menggelar Kongres Pertama
IAFMI sekaligus meresmikan lahirnya
komunitas yang diharapkan mampu
menjadi tempat menuangkan aspirasi
mereka demi terciptanya industri
hulu migas Indonesia yang bersinergi,
terintegrasi dan, berkesinambungan.
Bisnis surface facilities, atau fasilitas
produksi migas, memang sering
tak tersentuh dalam perbincangan
mengenai industri hulu migas,
tertutupi oleh santernya perbincangan
seputar lifting. Padahal, surface
facilities merupakan suatu rantai
bisnis yang krusial dalam keseluruhan
industri hulu migas. Bisnis ini berfokus
pada pengolahan migas yang keluar
dari kepala sumur hingga dikirim ke
kilang untuk dapat dijual ke konsumen
(hilir).
“Fasilitas produksi utamanya
berfokus pada pemisahaan
kandungan impurities, seperti air dan
CO2, dalam minyak (crude oil) dan
gas yang keluar dari kepala sumur.
Kandungan impurities dalam minyak
kemudian diolah, sedangkan impurities
dalam gas dibakar dan dibuang ke
atmosfer,” terang Rudianto Rimbono,
Ketua Umum dan Formatur IAFMI,
kepada GEO ENERGI, memberikan
gambaran mengenai rantai bisnis
fasilitas produksi migas.
Ditemui dalam kongres tersebut,
Rudianto mengemukakan bahwa
terbentuknya IAFMI merupakan
sebuah usaha untuk mengangkat
permasalahan di bidang fasilitas
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
produksi migas yang selama ini jarang
terdengar. Dan benar saja, Kongres
Pertama IAFMI seakan menjadi
ajang untuk membuka mata lebarlebar bahwa permasalahan dalam
bisnis fasilitas produksi migas di
Indonesia tak kalah ruwet dengan
bisnis eksplorasi, pengembangan,
dan pengeboran. Pembahasan dalam
kongres ini bervariasi, mulai dari
permasalahan seputar infrastruktur
produksi migas yang kian menua,
perbedaan standar operasi yang
diterapkan para Kontraktor Kontrak
Kerja Sama (KKKS), hingga persoalan
pengolahan limbah impurities.
Selain menjadi wadah
b erkumpulnya para ahli fasilitas
produksi migas, lanjut Rudianto, IAFMI
punya mimpi besar untuk menginisiasi
dibentuknya standar nasional dalam
bisnis fasilitas produksi migas di
Indonesia. Rudianto menjelaskan
standar operasi yang diterapkan para
KKKS asing tidaklah sesuai dengan
kondisi geologi Indonesia. “KKKS
pakai pedoman dari IPA yang sudah
internationally recognized, tetapi tidak
dapat diterapkan di sini. Misal, standar
internasional untuk perhitungan
besaran ombak laut akan terlalu besar
jika kami pakai untuk menghitung
ombak di Laut Jawa yang sangat
tenang bagai kolam renang raksasa.
Perbedaan perhitungan tersebut
mempunyai dampak yang cukup
signifikan” ujar Rudianto.
Selain peningkatan standar
nasional, Rudianto juga berharap
IAFMI dapat menyokong peningkatan
mutu para anggotanya dan praktisi
fasilitas produksi migas secara umum.
Sehingga, Indonesia tak perlu lagi
bergantung kepada ekspatriat asing.
“Indonesia sudah punya IAGI, HAGI,
IATMI, dan lainnya. Melalui IAFMI,
kami berharap dapat menginisiasi
sebuah lembaga sertifikasi ahli fasilitas
produksi migas. Bisnis ini butuh anak
bangsa yang mempunyai kompetensi
yang tepat, certified,” tandas Rudianto.
Jika standar nasional sudah
terbentuk dan kualitas para ahli
sudah setara dengan ekspatriat asing,
Rudianto yakin industri hulu migas
akan berkembang dan tak hanya
menjadi penyumbang terbesar devisa
negara saja. Industri hulu migas
yang berstandar diharapkan dapat
menimbulkan efek domino ke industri
lainnya, seperti industri barang dan
Rudianto, Ketua Umum IAFMI
jasa. Alih-alih mengimpor produk
dan tenaga ahli asing, Indonesia
dapat mengirim produk dalam
negeri dan para ahli bidang fasilitas
produksi migas yang berkualitas dan
bersertifikat. “Jika sudah menjadi tuan
di negeri sendiri, bisa saja para KKKS
asing yang umumnya perusahaan
multinasional ini akan memakai
produk dan jasa para ahli kita untuk
proyek mereka di luar negeri,” harap
Rudianto.
Di samping berbagai tujuan
IAFMI yang terasa nasionalis tersebut,
Rudianto menegaskan bahwa IAFMI
bukanlah komunitas anti asing. “Kami
tidak mentabukan partisipasi asing.
Kami nasionalis, tetapi tidak ingin
menasionalisasi. Sampai saat ini harus
kami akui bahwa berbagai lembaga
riset dan teknologi dalam dunia
migas berasal dari luar negeri,” tutur
Rudianto.
Rudi juga memahami bahwa
mewujudkan tujuan IAFMI yang
besar dan sungguh mulia tersebut
tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Butuh waktu, konsistensi,
dan tenaga yang besar untuk
mewujudkannya. IAFMI merupakan
sebuah langkah awal yang diharapkan
mampu mewujudkan tujuan tersebut.
“Anggota IAFMI adalah para idealis
yang punya komitmen dan militansi
untuk membangun Indonesia. Jika niat
kami baik, semoga hasilnya pun akan
baik,” tegas Rudianto optimistis. G
59