Geo Energi januari 2014 | Page 59

istimewa S iang itu 5 Desember 2013, langit Jakarta begitu cerah setelah sehari sebelumnya diguyur hujan lebat. Ada suasana lain dari biasanya di lantai 9, Gedung City Plaza, Jakarta. Ratusan orang berkumpul di ruangan yang sejuk itu. Diskusi yang cukup seru terdengar dari sebuah ruang pertemuan yang sering dipakai oleh SKK Migas itu. Perdebatan kecil sesekali terdengar. Mereka bergantian dan bersahutan mengemukakan pendapat, membahas permasalahan fasilitas produksi migas dengan sangat intens, detail, dan komprehensif. Suara-suara tersebut adalah suara 200 orang anggota Ikatan Ahli Fasilitas Produksi Minyak dan Gas Bumi Indonesia (IAFMI) yang terdiri para ahli, akademisi, dan praktisi yang berkutat langsung dalam bisnis surface facilities. Siang itu, para anggota IAFMI menggelar Kongres Pertama IAFMI sekaligus meresmikan lahirnya komunitas yang diharapkan mampu menjadi tempat menuangkan aspirasi mereka demi terciptanya industri hulu migas Indonesia yang bersinergi, terintegrasi dan, berkesinambungan. Bisnis surface facilities, atau fasilitas produksi migas, memang sering tak tersentuh dalam perbincangan mengenai industri hulu migas, tertutupi oleh santernya perbincangan seputar lifting. Padahal, surface facilities merupakan suatu rantai bisnis yang krusial dalam keseluruhan industri hulu migas. Bisnis ini berfokus pada pengolahan migas yang keluar dari kepala sumur hingga dikirim ke kilang untuk dapat dijual ke konsumen (hilir). “Fasilitas produksi utamanya berfokus pada pemisahaan kandungan impurities, seperti air dan CO2, dalam minyak (crude oil) dan gas yang keluar dari kepala sumur. Kandungan impurities dalam minyak kemudian diolah, sedangkan impurities dalam gas dibakar dan dibuang ke atmosfer,” terang Rudianto Rimbono, Ketua Umum dan Formatur IAFMI, kepada GEO ENERGI, memberikan gambaran mengenai rantai bisnis fasilitas produksi migas. Ditemui dalam kongres tersebut, Rudianto mengemukakan bahwa terbentuknya IAFMI merupakan sebuah usaha untuk mengangkat permasalahan di bidang fasilitas EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 produksi migas yang selama ini jarang terdengar. Dan benar saja, Kongres Pertama IAFMI seakan menjadi ajang untuk membuka mata lebarlebar bahwa permasalahan dalam bisnis fasilitas produksi migas di Indonesia tak kalah ruwet dengan bisnis eksplorasi, pengembangan, dan pengeboran. Pembahasan dalam kongres ini bervariasi, mulai dari permasalahan seputar infrastruktur produksi migas yang kian menua, perbedaan standar operasi yang diterapkan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), hingga persoalan pengolahan limbah impurities. Selain menjadi wadah b erkumpulnya para ahli fasilitas produksi migas, lanjut Rudianto, IAFMI punya mimpi besar untuk menginisiasi dibentuknya standar nasional dalam bisnis fasilitas produksi migas di Indonesia. Rudianto menjelaskan standar operasi yang diterapkan para KKKS asing tidaklah sesuai dengan kondisi geologi Indonesia. “KKKS pakai pedoman dari IPA yang sudah internationally recognized, tetapi tidak dapat diterapkan di sini. Misal, standar internasional untuk perhitungan besaran ombak laut akan terlalu besar jika kami pakai untuk menghitung ombak di Laut Jawa yang sangat tenang bagai kolam renang raksasa. Perbedaan perhitungan tersebut mempunyai dampak yang cukup signifikan” ujar Rudianto. Selain peningkatan standar nasional, Rudianto juga berharap IAFMI dapat menyokong peningkatan mutu para anggotanya dan praktisi fasilitas produksi migas secara umum. Sehingga, Indonesia tak perlu lagi bergantung kepada ekspatriat asing. “Indonesia sudah punya IAGI, HAGI, IATMI, dan lainnya. Melalui IAFMI, kami berharap dapat menginisiasi sebuah lembaga sertifikasi ahli fasilitas produksi migas. Bisnis ini butuh anak bangsa yang mempunyai kompetensi yang tepat, certified,” tandas Rudianto. Jika standar nasional sudah terbentuk dan kualitas para ahli sudah setara dengan ekspatriat asing, Rudianto yakin industri hulu migas akan berkembang dan tak hanya menjadi penyumbang terbesar devisa negara saja. Industri hulu migas yang berstandar diharapkan dapat menimbulkan efek domino ke industri lainnya, seperti industri barang dan Rudianto, Ketua Umum IAFMI jasa. Alih-alih mengimpor produk dan tenaga ahli asing, Indonesia dapat mengirim produk dalam negeri dan para ahli bidang fasilitas produksi migas yang berkualitas dan bersertifikat. “Jika sudah menjadi tuan di negeri sendiri, bisa saja para KKKS asing yang umumnya perusahaan multinasional ini akan memakai produk dan jasa para ahli kita untuk proyek mereka di luar negeri,” harap Rudianto. Di samping berbagai tujuan IAFMI yang terasa nasionalis tersebut, Rudianto menegaskan bahwa IAFMI bukanlah komunitas anti asing. “Kami tidak mentabukan partisipasi asing. Kami nasionalis, tetapi tidak ingin menasionalisasi. Sampai saat ini harus kami akui bahwa berbagai lembaga riset dan teknologi dalam dunia migas berasal dari luar negeri,” tutur Rudianto. Rudi juga memahami bahwa mewujudkan tujuan IAFMI yang besar dan sungguh mulia tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu, konsistensi, dan tenaga yang besar untuk mewujudkannya. IAFMI merupakan sebuah langkah awal yang diharapkan mampu mewujudkan tujuan tersebut. “Anggota IAFMI adalah para idealis yang punya komitmen dan militansi untuk membangun Indonesia. Jika niat kami baik, semoga hasilnya pun akan baik,” tegas Rudianto optimistis. G 59