Sosok
Budi Santoso
Ketua Working Grup Kebijakan Pertambangan Perhapi dan Ketua Komite Nasional Mineral dan Batu Bara
Mari Kawal
Kebijakan Minerba!
Belakangan, Undang-undang Mineral dan Batu Bara (Minerba) terkait hilirisasi
menuai pro dan kontra. Silang sengkarut ini disebabkan oleh banyaknya
kebijakan Minerba sebelumnya. Perlu partisipasi aktif dari berbagai organisasi
profesi pertambangan untuk mengawal setiap kebijakan Minerba yang
ditetapkan.
Oleh AMANDA PUSPITA SARI
U
sianya hampir
setengah abad, namun
pembawaannya cukup
tenang dan bersahaja.
Sepintas terlihat pelit
bicara, namun ketika ditanya soal
kesiapan industri Minerba menyambut
ketetapan hilirisasi, barulah ia bicara
lantang dan blak-blakan. Sesaat
setelah dilantik menjadi Ketua
Komite Kebijakan Nasional Mineral
dan Batu Bara di Jakarta, (28/11)
lalu, punggawa senior Perhapi
(Perhimpunan Ahli Pertambangan
Indonesia) ini meluangkan waktunya
untuk berbincang dengan GEO ENERGI
terkait rancunya kebijakan demi
kebijakan yang diambil pemerintah
dalam industri Minerba nasional.
“Kita harus jujur dulu, industri
Minerba kita mau diarahkan ke mana?
Apakah untuk meningkatkan nilai
tambah barang tambang dan atmosfir
kompetisi nasional, atau hanya
untuk meningkatkan pendapatan
pemerintah yang export-oriented?,”
ujar alumni Teknik Pertambangan ITB
ini memulai percakapan. Budi menilai,
arah industri Minerba nasional tidak
pernah jelas dan jujur. Sehingga, tak
mengherankan jika setelah tiga puluh
tahun lebih, industri Minerba Indonesia
tetap didominasi oleh pemain asing.
Untunglah pada tahun 2009 lalu,
pemerintah mulai menunjukkan
niat baik untuk meningkatkan nilai
tambah industri Minerba nasional
46
dengan mengeluarkan kebijakan
berupa Undang-Undang No. 4 Tahun
2009. Kebijakan pemerintah yang
mengatur hilirisasi barang tambang
tersebut, Budi menilai, sebenarnya
bertujuan baik. Namun, implementasi
dari undang-undang tersebut dapat
menghancurkan mekanisme industri
Minerba nasional.
Menurut Budi, pemberian jangka
waktu lima tahun bagi industri
Minerba nasional untuk bersiap diri
merupakah hal yang tidak realistis.
Untuk membangun smelter saja,
jangka waktu lima tahun dirasa
tidak cukup. “Smelter tidak akan siap
(beroperasi) tahun 2014. Membangun
smelter butuh waktu enam tahun.
Untuk eksplorasi butuh tiga tahun,
ditambah realisasi produksi yang
berjalan memakan waktu tiga tahun.
Artinya butuh waktu sembilan tahun,”
terang Budi yang saat ini aktif sebagai
Ketua Divisi Working Grup Kebijakan
Pertambangan di Perhapi.
Apalagi, lanjut Budi, setelah
jangka waktu lima tahun yang dirasa
singkat tersebut, pemerintah akan
menetapkan larangan ekspor mineral
mentah. Kebijakan tersebut sejatinya
bertentangan dengan kebijakan
pemerintah beberapa tahun silam
yang mengeluarkan banyak Izin
Usaha Pertambangan (IUP) maupun
Kontrak Kerja (KK). “Ekspor merupakan
hak pengusaha. Kalau pemerintah
mau mengerem ekspor, harusnya
pemberian IUP harus di-rem juga.
Saat ini kondisinya, pemegang IUP
banyak dan mereka terancam tak bisa
mengekspor,” tegas Budi juga menjabat
sebagai President Direktur sebuah
perusahaan konsultasi pertambangan,
PT SRK Consulting Indonesia.
Alhasil, kebijakan yang tidak
realistis tersebut membuat para
pelaku usaha pertambangan panik
dan akhirnya berbondong-bondong
berencana membangun smelter,
tanpa memberikan komitmen yang
kuat dan pasti. “Pemerintah harusnya
memastikan, sudah sesuaikah smelter
yang mereka bangun. Harus dicek
apakah cadangan yang ada cukup,
umur tambang sudah siap, dan
eksplorasi yang dilakukan sudah
benar. Karena smelter punya daya
pengembalian 5-15 tahun mendatang,”
terang pria berdarah Madura ini.
Budi menilai, ketimpangan
kebijakan tersebut tidak bisa
diselesaikan dalam waktu singkat,
meskipun pemerintah telah
memprediksi hal ini dan mengeluarkan
kebijakan Clear and Clean (CnC) untuk
menentukan IUP yang laik beroperasi
pada tahu