Geo Energi januari 2014 | Page 39

Jenderal (Purn.) Endriartono Sutarto Calon Presiden Konvensi Partai Demokrat “Revolusi energi Ada di Tangan Presiden” Endriartono Sutarto menawarkan sekaligus menjamin ketahanan energi nasional bisa diraih dengan jalan mudah. Syaratnya, pemimpin harus berani dan tegas mengambil keputusan. Kewenangan itu ada di tangan seorang presiden. Oleh Sri Widodo, Ishak Pardosi D i penghujung tahun 2013, guyuran air hujan tampaknya belum akan berhenti membasahi Kota Jakarta. Ia tak kenal waktu, subuh, pagi, siang, sore, ataupun malam menekan laju aktivitas masyarakat metropolitan. Kata orang bahwa Desember berarti gedegedenya sumber, ternyata banyak benarnya. Hujan sepanjang hari tanpa henti. Namun, Jakarta yang kuyup, tak membuat semangat Endriartono surut. Di Media Center Pemenangan Endriartono Sutarto di Jalan Imam Bonjol 16, ia kelihatan begitu sibuk dan antusias melayani tetamu. Malam itu, di rumah berukuran besar bercat serba putih, Endriartono berbicara panjang lebar tentang konsep mengelola energi nasional di masa mendatang. “Terus terang salah satu alasan saya maju sebagai capres Demokrat antara lain karena masalah energi ini. Sampai hari ini, sepertinya kita belum mempunyai kebijakan energi komprehensif untuk menuju kemandirian energi,” katanya kepada EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 Sri Widodo Soetardjowijono, Ishak Pardosi, David Welkinson dan pewarta foto Sarwono dari GEO ENERGI, Kamis (12/12) di Jalan Imam Bonjol 16, Jakarta Pusat. Tak banyak yang tahu, ternyata Panglima TNI 2002-2006, Jenderal (Purn.) Endriartono Sutarto fasih bicara soal energi. Bahkan ia memahami seluk-beluk sektor energi berikut persoalannya. Endriartono bahkan menguasai secara detail tentang apa dan bagaimana kondisi ketahanan energi Indonesia saat ini. “Dulu, produksi minyak bumi kita memang lebih tinggi dari konsumsi. Sayangnya, kita tidak waspada bahwa penurunan produksi pasti akan terjadi, sementara konsumsi akan terus meningkat. Kita tidak menyiapkan diri untuk menghadapi hal itu, hasilnya ketergantungan terhadap minyak bumi terus berlanjut. Tidak ada perencanaan komprihensif untuk mencari sumber energi baru,” papar Endriartono mengawali pandangannya terhadap kondisi ketahanan energi nasional saat ini. Ada perasaan miris ketika ia melihat dollar telah menembus angka Rp 12.000,-, akibat dari transaksi berjalan kita yang dalam posisi defisit. Devisa kita yang terus tersedot untuk mengimpor antara lain minyak mentah (crude) dan juga BBM dalam jumlah yang sangat besar. Ketergantungan kita pada minyak bumi, dampaknya langsung terasa, membuat bangsa ini tak pernah bisa melakukan penghematan. Hampir 20 persen belanja negara dipakai untuk menyubsidi bahan bakar minyak. “Ke depan, kita harus punya kebijakan energi yang lebih baik,” katanya. Endriartono yang akrab disapa Tarto juga mengikuti perkembangan sektor energi baru dan terbarukan yang belakangan tengah digenjot oleh pemerintahan SBY-Boediono. Lebih istimewa lagi, Endriartono juga memiliki visi ketahanan energi Indonesia di masa mendatang. Sebuah pemikiran revolusioner dari seorang pemimpin berlatarbelakang militer. Endriartono yang lahir di Purworejo, Jawa Tengah, akhirnya terpanggil untuk membenahi sektor energi, bila kelak terpilih sebagai Presiden pada 39