Jenderal (Purn.) Endriartono Sutarto
Calon Presiden Konvensi Partai Demokrat
“Revolusi energi
Ada di Tangan
Presiden”
Endriartono Sutarto menawarkan sekaligus menjamin ketahanan energi nasional
bisa diraih dengan jalan mudah. Syaratnya, pemimpin harus berani dan tegas
mengambil keputusan. Kewenangan itu ada di tangan seorang presiden.
Oleh Sri Widodo, Ishak Pardosi
D
i penghujung tahun
2013, guyuran air hujan
tampaknya belum akan
berhenti membasahi
Kota Jakarta. Ia tak
kenal waktu, subuh, pagi, siang, sore,
ataupun malam menekan laju aktivitas
masyarakat metropolitan. Kata orang
bahwa Desember berarti gedegedenya sumber, ternyata banyak
benarnya. Hujan sepanjang hari tanpa
henti.
Namun, Jakarta yang kuyup, tak
membuat semangat Endriartono
surut. Di Media Center Pemenangan
Endriartono Sutarto di Jalan Imam
Bonjol 16, ia kelihatan begitu sibuk dan
antusias melayani tetamu. Malam itu,
di rumah berukuran besar bercat serba
putih, Endriartono berbicara panjang
lebar tentang konsep mengelola
energi nasional di masa mendatang.
“Terus terang salah satu alasan
saya maju sebagai capres Demokrat
antara lain karena masalah energi
ini. Sampai hari ini, sepertinya
kita belum mempunyai kebijakan
energi komprehensif untuk menuju
kemandirian energi,” katanya kepada
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
Sri Widodo Soetardjowijono, Ishak
Pardosi, David Welkinson dan pewarta
foto Sarwono dari GEO ENERGI, Kamis
(12/12) di Jalan Imam Bonjol 16,
Jakarta Pusat.
Tak banyak yang tahu, ternyata
Panglima TNI 2002-2006, Jenderal
(Purn.) Endriartono Sutarto fasih bicara
soal energi. Bahkan ia memahami
seluk-beluk sektor energi berikut
persoalannya. Endriartono bahkan
menguasai secara detail tentang apa
dan bagaimana kondisi ketahanan
energi Indonesia saat ini.
“Dulu, produksi minyak bumi kita
memang lebih tinggi dari konsumsi.
Sayangnya, kita tidak waspada bahwa
penurunan produksi pasti akan terjadi,
sementara konsumsi akan terus
meningkat. Kita tidak menyiapkan diri
untuk menghadapi hal itu, hasilnya
ketergantungan terhadap minyak bumi
terus berlanjut. Tidak ada perencanaan
komprihensif untuk mencari sumber
energi baru,” papar Endriartono
mengawali pandangannya terhadap
kondisi ketahanan energi nasional saat
ini.
Ada perasaan miris ketika ia
melihat dollar telah menembus
angka Rp 12.000,-, akibat dari
transaksi berjalan kita yang dalam
posisi defisit. Devisa kita yang terus
tersedot untuk mengimpor antara
lain minyak mentah (crude) dan juga
BBM dalam jumlah yang sangat besar.
Ketergantungan kita pada minyak
bumi, dampaknya langsung terasa,
membuat bangsa ini tak pernah bisa
melakukan penghematan. Hampir 20
persen belanja negara dipakai untuk
menyubsidi bahan bakar minyak. “Ke
depan, kita harus punya kebijakan
energi yang lebih baik,” katanya.
Endriartono yang akrab disapa
Tarto juga mengikuti perkembangan
sektor energi baru dan terbarukan
yang belakangan tengah digenjot
oleh pemerintahan SBY-Boediono.
Lebih istimewa lagi, Endriartono
juga memiliki visi ketahanan energi
Indonesia di masa mendatang. Sebuah
pemikiran revolusioner dari seorang
pemimpin berlatarbelakang militer.
Endriartono yang lahir di Purworejo,
Jawa Tengah, akhirnya terpanggil
untuk membenahi sektor energi, bila
kelak terpilih sebagai Presiden pada
39