Geo energi/ sarwono
di dalam pipa bisa diketahui. Bayangkan
kalau ini diimplementasikan pada pipa
distribusi yang banyak cabangnya.
Belum lagi kalau diameternya berubah,
maka harus dipasang pressure indicator
di situ, Berapa ribu pressure indicator
yang harus dipasang? Masuk akal kah
kalau dua tahun harus seperti itu?”
ujar Wahyu dalam acara Diskusi Open
Access III yang berlangsung di kawasan
Senayan, Jakarta, Kamis (12/12).
Wahyu juga menilai, kesan monopoli
yang timbul dari PGN bukanlah hal
dianggap salah, dan monopoli tidak
selalu berkonotasi negatif. Menurutnya,
infrastruktur seperti jaringan gas
sudah seharusnya dikuasai oleh
negara, misalnya melalui BUMN, untuk
kesejahteraan rakyat.
“Di Eropa yang biangnya
kapitalisme, seperti di Inggris,
infrastruktur jaringan gas dikuasai oleh
negara, oleh British Gas, yang sekarang
namanya National Gas Grid. Di Perancis
dan Italia juga dimonopoli. Oleh karena
itu, istilah natural monopoly datangnya
dari Eropa, dan oleh karena itu
infrastruktur gas bumi disebut natural
monopoly. Di negara yang biangnya
liberalisme saja infrastruktur gas bumi
dimonopoli demi rakyatnya. Bagaimana
dengan Indonesia yang katanya negara
Pancasila? Mau diliberalisasi?” tandasnya.
Namun, menurut Direktur Utama
Pertagas Niaga, Jugi Prajogio menilai
adanya open access dan unbundling
akan menguntungkan banyak
pihak. Dari pemilik pipa, open access
dinilai menguntungkan karena akan
mengefisienkan dan memaksimalkan
penggunaan pipa. Pemilik infrastruktur
juga dapat mengambil untung
dari adanya toll fee. Shipper akan
diuntungkan dari adanya tarif toll
fee yang lebih terjangkau. Dengan
demikian, harga jual gas ke konsumen
bisa ditekan tidak semahal yang
dibayangkan.
“Sekarang malah lebih baik lagi.
Tahun 2013 BPH Migas membuat
peraturan yang lebih baik lagi.
Transporter yang membangun pipa
akan mendapat insentif lagi untuk
mempercepat pembangunan, supaya
jaringan pipa lebih mudah terbangun.
Kalau dulu, return-nya disamakan
dengan biaya modal,” ujar Jugi.
Dalam isu open access, Pertagas
selama ini dikenal sebagai BUMN yang
amat mendukung kebijakan tersebut.
Jugi mengatakan, telah mendiskusikan
EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014
mengenai pipa mana saja yang bisa
dibuat open access.
“Kemarin saya bilang ke BPH Migas
dan mendiskusikan peta pipa gas
PGN dan Pertagas di Jawa Timur dan
Jawa Barat seperti apa, suplai gasnya
bagaimana, lalu kita serahkan kepada
regulator pipa mana yang bisa dibuat
open access dan yang mana yang tetap
closed,” ujar Jugi.
Jugi mengingatkan bahwa Pertagas
sebagai pemain hanya
bisa memberikan usulan.
Keputusan berada di tangan
KESDM. “Begitu KESDM
bisa membuka, lalu bola
ada di BPH Migas untuk
menetapkan toll fee,” imbuh
Jugi.
Jugi juga mengingatkan
bahwa jika PGN menolak
untuk mengubah status
pipa distribusinya menjadi
open access, bukan berarti
PGN melanggar hukum.
“Karena pipanya berstatus
dedicated hilir, dan yang
berwenang membuka menjadi open
access adalah KESDM berdasarkan aspek
teknis dan ekonomis. Kalau Menteri
(ESDM) bisa membuka, sebenarnya
masalah itu selesai,” imbuh Jugi.
Industri merupakan menjadi pihak
yang diuntungkan dengan adanya
kebijakan open access tersebut. Menurut
Ketua Forum Industri Pengguna
Gas, Ahmad Safiun, dengan adanya
open access, maka akan membantu
ketersediaan gas bagi industri. Selama
ini ia merasakan betapa kurangnya stok
gas untuk industri. Sebagian besar gas
dalam negeri sebagian sudah diekspor.
Industri memang mendapatkan jatah
gas, namun sebagian besar industri
yang menerima gas adalah pupuk dan
PLN.
“Industri masih sedikit menerima
gas, sekitar 800 MMSCFD, sementara
kebutuhan kami setidaknya 1.200
MMSCFD. Soal open access, tidak ada
satu indent pun yang dikeluarkan untuk
mengelola open access. Jadi pantaslah
kalau distribusi gas untuk industri tidak
maksimal. Yang ada hanya pipa-pipa
terbatas. Di Pulau Jawa belum ada pipapipa terpasang dari barat hingga timur,”
papar Ahmad.
Terkait pernyataan Ahmad, Jugi
mengklaim bahwa Pertagas siap
mendukung kebijakan open access
demi mendukung ketersediaan gas
untuk industri. Jugi
mengungkapkan, bahwa Pertagas
saat ini sedang mengembangkan
konsep penggunaan pipa dan sistem
tarifnya untuk mendukung pelaksanaan
open access, dan konsep tersebut
tengah dilaksanakan kepada trader gas
yang bekerja sama dengan Pertagas. Tak
hanya sekedar bekerja sama, Jugi juga
mendorong para trader yang bekerja
sama dengannya untuk memiliki
fasilitas, yang pada akhirnya diharapkan
bisa mendorong ketersediaan gas untuk
industri.
“Di Jawa Timur kira-kira kami
pegang lima trader. Tapi sebenarnya
empat dari lima trader tersebut sudah
berfasilitas. Jadi sebetulnya kami
mencoba mengombinasikan konsep
dari ‘sharing to’ menjadi ‘selling to’.
Di Kalimantan kami juga konsepnya
‘selling to’. Ke depannya, jumlah PJBG
(Perjanjian Jual Beli Gas) dan end
customer jumlahnya akan lebih banyak
dibanding trader. Kata trader ini kan
konotasinya tak punya fasilitas. Tapi
saya selalu bilang kepada para off
taker, mereka harus punya fasilitas,
menyiapkan Stand By Letter of Credit
(SBLC), kesiapan admin perusahaan dan
perizinan, dan kesiapan pasar. Kalau
empat hal tersebut bisa diberikan, maka
itu bisa diproses untuk beauty contest,”
papar Jugi. G
37