Geo Energi januari 2014 | Page 37

Geo energi/ sarwono di dalam pipa bisa diketahui. Bayangkan kalau ini diimplementasikan pada pipa distribusi yang banyak cabangnya. Belum lagi kalau diameternya berubah, maka harus dipasang pressure indicator di situ, Berapa ribu pressure indicator yang harus dipasang? Masuk akal kah kalau dua tahun harus seperti itu?” ujar Wahyu dalam acara Diskusi Open Access III yang berlangsung di kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (12/12). Wahyu juga menilai, kesan monopoli yang timbul dari PGN bukanlah hal dianggap salah, dan monopoli tidak selalu berkonotasi negatif. Menurutnya, infrastruktur seperti jaringan gas sudah seharusnya dikuasai oleh negara, misalnya melalui BUMN, untuk kesejahteraan rakyat. “Di Eropa yang biangnya kapitalisme, seperti di Inggris, infrastruktur jaringan gas dikuasai oleh negara, oleh British Gas, yang sekarang namanya National Gas Grid. Di Perancis dan Italia juga dimonopoli. Oleh karena itu, istilah natural monopoly datangnya dari Eropa, dan oleh karena itu infrastruktur gas bumi disebut natural monopoly. Di negara yang biangnya liberalisme saja infrastruktur gas bumi dimonopoli demi rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia yang katanya negara Pancasila? Mau diliberalisasi?” tandasnya. Namun, menurut Direktur Utama Pertagas Niaga, Jugi Prajogio menilai adanya open access dan unbundling akan menguntungkan banyak pihak. Dari pemilik pipa, open access dinilai menguntungkan karena akan mengefisienkan dan memaksimalkan penggunaan pipa. Pemilik infrastruktur juga dapat mengambil untung dari adanya toll fee. Shipper akan diuntungkan dari adanya tarif toll fee yang lebih terjangkau. Dengan demikian, harga jual gas ke konsumen bisa ditekan tidak semahal yang dibayangkan. “Sekarang malah lebih baik lagi. Tahun 2013 BPH Migas membuat peraturan yang lebih baik lagi. Transporter yang membangun pipa akan mendapat insentif lagi untuk mempercepat pembangunan, supaya jaringan pipa lebih mudah terbangun. Kalau dulu, return-nya disamakan dengan biaya modal,” ujar Jugi. Dalam isu open access, Pertagas selama ini dikenal sebagai BUMN yang amat mendukung kebijakan tersebut. Jugi mengatakan, telah mendiskusikan EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 mengenai pipa mana saja yang bisa dibuat open access. “Kemarin saya bilang ke BPH Migas dan mendiskusikan peta pipa gas PGN dan Pertagas di Jawa Timur dan Jawa Barat seperti apa, suplai gasnya bagaimana, lalu kita serahkan kepada regulator pipa mana yang bisa dibuat open access dan yang mana yang tetap closed,” ujar Jugi. Jugi mengingatkan bahwa Pertagas sebagai pemain hanya bisa memberikan usulan. Keputusan berada di tangan KESDM. “Begitu KESDM bisa membuka, lalu bola ada di BPH Migas untuk menetapkan toll fee,” imbuh Jugi. Jugi juga mengingatkan bahwa jika PGN menolak untuk mengubah status pipa distribusinya menjadi open access, bukan berarti PGN melanggar hukum. “Karena pipanya berstatus dedicated hilir, dan yang berwenang membuka menjadi open access adalah KESDM berdasarkan aspek teknis dan ekonomis. Kalau Menteri (ESDM) bisa membuka, sebenarnya masalah itu selesai,” imbuh Jugi. Industri merupakan menjadi pihak yang diuntungkan dengan adanya kebijakan open access tersebut. Menurut Ketua Forum Industri Pengguna Gas, Ahmad Safiun, dengan adanya open access, maka akan membantu ketersediaan gas bagi industri. Selama ini ia merasakan betapa kurangnya stok gas untuk industri. Sebagian besar gas dalam negeri sebagian sudah diekspor. Industri memang mendapatkan jatah gas, namun sebagian besar industri yang menerima gas adalah pupuk dan PLN. “Industri masih sedikit menerima gas, sekitar 800 MMSCFD, sementara kebutuhan kami setidaknya 1.200 MMSCFD. Soal open access, tidak ada satu indent pun yang dikeluarkan untuk mengelola open access. Jadi pantaslah kalau distribusi gas untuk industri tidak maksimal. Yang ada hanya pipa-pipa terbatas. Di Pulau Jawa belum ada pipapipa terpasang dari barat hingga timur,” papar Ahmad. Terkait pernyataan Ahmad, Jugi mengklaim bahwa Pertagas siap mendukung kebijakan open access demi mendukung ketersediaan gas untuk industri. Jugi mengungkapkan, bahwa Pertagas saat ini sedang mengembangkan konsep penggunaan pipa dan sistem tarifnya untuk mendukung pelaksanaan open access, dan konsep tersebut tengah dilaksanakan kepada trader gas yang bekerja sama dengan Pertagas. Tak hanya sekedar bekerja sama, Jugi juga mendorong para trader yang bekerja sama dengannya untuk memiliki fasilitas, yang pada akhirnya diharapkan bisa mendorong ketersediaan gas untuk industri. “Di Jawa Timur kira-kira kami pegang lima trader. Tapi sebenarnya empat dari lima trader tersebut sudah berfasilitas. Jadi sebetulnya kami mencoba mengombinasikan konsep dari ‘sharing to’ menjadi ‘selling to’. Di Kalimantan kami juga konsepnya ‘selling to’. Ke depannya, jumlah PJBG (Perjanjian Jual Beli Gas) dan end customer jumlahnya akan lebih banyak dibanding trader. Kata trader ini kan konotasinya tak punya fasilitas. Tapi saya selalu bilang kepada para off taker, mereka harus punya fasilitas, menyiapkan Stand By Letter of Credit (SBLC), kesiapan admin perusahaan dan perizinan, dan kesiapan pasar. Kalau empat hal tersebut bisa diberikan, maka itu bisa diproses untuk beauty contest,” papar Jugi. G 37