Geo Energi januari 2014 | Page 15

istimewa Pertamina sebagai anggota konsorsium kontraktor West Qurna I. Pengumuman akuisisi blok tersebut beriringan dengan pemberitahuan akuisisi blok-blok lain. Paling tidak, dalam sepekan itu Pertamina mengumumkan telah mengakuisisi lima blok migas. Diawali pada 28 November 2013, perusahaan minyak pelat merah itu mengumumkan telah menuntaskan proses akuisisi ConocoPhilips Algeria Ltd, anak perusahaan ConocoPhilips (NYSE:COP) yang menguasai Blok 405A di Aljazair. Dalam aksi korporasi itu, perusahaan minyak pelat merah tersebut merogoh kocek hingga US$ 1,75 miliar atau sekitar Rp19,2 triliun pada kurs Rp 11.000 per US$. Blok 405A terdiri dari tiga lapangan minyak utama, yaitu Menzel Lejmat North, Ourhoud dan EMK. Di lapangan Menzel Lejmat North ConocoPhilips Algeria Ltd. menguasai 65% hak partisipasi dan sekaligus bertindak selaku operator, sementara itu hak partisipasi di lapangan Ourhoud 3,7% dan 16,9 % di lapangan EMK. Kemudian pada 29 November, Pertamina mendapatkan kabar gembira. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik dalam surat keputusannya telah memutuskan tidak memperpanjang kontrak PT Chevron Pacific Indonesia di Blok Siak, Riau, yang telah habis pada 27 November lalu. Kini kontrak pengelolaan Blok Siak diteruskan oleh Pertamina. Sehari berselang, Pertamina mengumumkan akuisisi di Irak tersebut. Dua hari kemudian, Pertamina mengakuisisi anak usaha Hess di Indonesia yang masing-masing menguasai dua blok migas sekaligus, yakni 75% hak partisipasi di Blok Pangkah, dan 23% hak partisipasi di Blok Natuna Sea A. Untuk akuisisi dua blok ini, Pertamina menggandeng PTTEP Netherlands Holding Cooperatie U.A, anak perusahaan PTTEP. Total nilai transaksi sekitar US$ 1,3 miliar atau setara Rp 14,3 triliun (kurs Rp 11.000 per US$). Bila ditotal, nilai seluruh akuisisi tersebut mendapai puluhan triliun rupiah. Akuisisi itu sendiri adalah satu dari sekian banyak langkah Pertamina untuk mengejar target produksi 2,2 juta barel per hari pada 2025. Sepekan setelah itu, pada Senin, 9 Desember 2013, Pertamina mengumumkan pembangunan ground EDISI 39 / Tahun Iv / JANUARI 2014 breaking proyek gedung Pertamina Energy Tower di Kawasan Rasuna Episentrum, Kuningan, Jakarta Selatan. Gedung 99 lantai dengan ketinggian 530 meter itu digadang-gadang akan menjadi representasi transformasi Pertamina menjadi World Class Energy Company sekaligus menjadi salah satu landmark baru Ibu Kota. Gedung dengan nama Pertamina Energy Tower ditargetkan selesai dibangun pada tahun 2020. Pertamina mengaku masih menghitung kebutuhan total gedung tersebut, namun ditaksir mencapai triliun rupiah. Gedung ini direncanakan akan menjadi bangunan tertinggi ketiga di dunia setelah Burj Khalifa, Dubai, setinggi 829 meter dan Abraj Al-Bait di Saudi Arabia setinggi 601 meter, disusul gedung Taipei 101 di Taiwan setinggi 509 meter. Nantinya, gedung Pertamina Tower akan menyalip Taipei 101. Untuk diketahui, biaya pembangunan gedung Taipei 101 senilai US$ 1,76 miliar atau setara Rp 19,3 triliun pada kurs Rp 11.000 per US$. Dari sejumlah pengumuman beruntun mengejutkan itu, akuisisi dua blok luar negeri yang paling membetot perhatian: akuisisi di Algeria dan Irak. “Dari dua blok di Aljazair dan Irak saja, Pertamina bisa mendapatkan 263 ribu barel pada 2014 mendatang,” kata Direktur Hulu Pertamina Muhammad Husein pada seminar dalam rangkaian ‘Pertamina Energy Outlook 2014’ di Jakarta, Selasa, 17 Desember 2013. Khusus dari Blok di Aljazair (Algeria), dari nilai akusisi US$ 1,75 miliar itu, Pertamina optimistis bisa ada tambahan produksi minyak 23.000 bph. Suhartoko, Senior VP Retail Marketing, menambahkan, dengan akuisisi blok minyak di Aljazair, Pertamina mendapat tambahan produksi 20.000 barel per hari. “Sekarang posisi produksi minyak Pertamina berada di kisaran 200.000-an barel per hari. Dengan Pertamina mendunia, Pertamina mentargetkan produksi minyak hingga jutaan barel per hari pada tahun 2025 nanti. Bayangkan, saat ini total produksi minyak Indonesia hanya 840.000-an barel per hari kan,” tutur Suhartoko, kepada GEO ENERGI. Benarkah klaim Pertamina itu? Fakta menarik diungkapkan kantor berita Reuters. Pada Rabu, 18 Desember 2013, Reuteurs melaporkan, net carrying value assets dari Conocophillips Algeria Ltd itu di akhir Oktober pada tahun Hatta Rajasa, Menko Perekonomian yang sama hanya sekitar US$ 850 juta, atau separuhnya dari total nilai akuisisi yang sebesar US$ 1,75 miliar. Sementara jumlah produksi yang dilaporkan juga tidak sebesar yang disampaikan klaim Pertamina, tapi hanya berkisa r 11.000 bph. Artinya, ada penggelembungan klaim produksi minyak lebih dari separuhnya, dari 11.000 bph menjadi 23.000 bph. Seorang pebisnis migas membisikkan, bila diuangkan, selisih produksi minyak itu bisa mencapai US$ 150,75 juta atau sekitar Rp 1,7 triliun. Bila ditotal, kerugian Pertamina dalam akuisisi di blok Aljazair saja mencapai US$ 1,05 miliar atau setara Rp 11,6 triliun. Angka ini berasal dari selisih hasil perhitungan net carrying value assets (US$ 850 juta) dengan yang harus dibayarkan Pertamina (US$ 1,75 miliar), ditambah dengan nilai selisih produksi minyak (US$ 150,75 juta). Uang yang tidak sedikit. Ke mana larinya? Sekilas, proyek-proyek ambisius Pertamina ini menakjubkan. Pertanyaan paling mendasar, selain ke mana sisa hitungan uang yang diduga mengalir tak jelas, juga dari mana Pertamina mendapatkan dana untuk akuisisiakuisisi dan pembangunan gedung 99 lantai yang bila ditotal angkanya lebih dari Rp 50 triliun itu? Kita tahu setiap tahun Pertamina membukukan laba di bawah Rp 30 triliun. Tahun 2012 mencetak laba Rp25,89 triliun atau sekitar US$2,76 miliar. Jumlah ini naik sekitar 14,7% dari pendapatan tahun 2011 yang sebesar US$ 2,398 miliar. 15