Geo Energi edisi september indonesia 2013 | Página 5
Anjungan
Awas,
Krisis Multidimensi
Mengintai
Rubiyanto
Pemimpin Umum Geo Energi
N
ilai tukar rupiah
semakin terpuruk.
Satu Dolar Amerika
Serikat sudah
menembus Rp 11.200.
Kondisi ini jelas membuat banyak
pihak dirugikan. Seluruh lapisan
masyarakat pasti akan terkena
dampaknya. Harga kebutuhan
pokok melangit. Rakyat kecil
menjerit.
Guncangan nilai tukar mata
uang ini membuat bangsa kita tak
berdaya. Perekonomian nasional
juga semakin tak menentu, karena
semua barang ditentukan oleh
Dolar Amerika Serikat.
Yang paling terpukul
adalah sektor energi. Baru saja
pemerintah menaikkan harga
BBM subsidi dari Rp 4.500 per
liter menjadi Rp 6.500 untuk
premium dan Rp 5.500 untuk
solar. Kenaikan hanya Rp 1.000
– 2. 000. Pun demikian akibat
kenaikan harga BBM ini rakyat
semakin terpukul, karena harga
kebutuhan pokok melebihi harga
kenaikan harga BBM itu sendiri.
Harga cabe mencapai Rp 80.000,
harga bawang merah mencapai Rp
90.000, dan daging sapi mencapai
Rp 120.000. lebih memiriskan lagi,
harga bayam mencapai Rp 3.000
satu ikat, yang sebelumnya cuma
Rp 1000 tiga ikat.
Penderitaan rakyat belum reda
akibat kenaikan harga barangbarang itu, kini sudah dibombadir
lagi dengan nilai tukar rupiah yang
merosot tajam. Nilai tukar rupiah
EDISI 35 / Tahun III / SEPTEMBER 2013
terhadap dolar naik melebihi
angka kenaikan harga BBM.
Sungguh memprihatinkan.
Tidak hanya itu, bayangan
suram masih akan terlihat jelas,
manakala harga minyak dunia
juga akan naik. Ini pasti akan
berdampak terhadap APBN
dan harga barang-barang di
dalam negeri yang semakin tak
terkendali. Bisa dihitung berapa
besar inflasi kita.
Sebelum ada kenaikan harga
BBM sesungguhnya ekonomi kita
relatif stabil. Tetapi mengapa kita
kalangkabut menghadapi krisis
ekonomi yang terjadi di Eropa?
Padahal sesungguhnya kita bisa
mandiri di bidang energi maupun
di bidang pangan. Penyebabnya
adalah karena kita telah menjadi
importir murni untuk bahan bakar
minyak dan bahan bakar gas. Tidak
hanya itu, kita juga telah menjadi
pengimpor untuk produk-produk
rumah tangga dan pangan. Coba
sebutkan barang apa saja yang
tidak diimpor oleh kita.
Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat setidaknya ada 9 bahan
pangan yang masih diimpor
Indonesia, seperti kentang,
singkong, gandum, tepung
terigu, kedelai, beras, jagung,
jahe, dan buah-buahan. Padahal,
semua barang itu bisa ditanam
di Indonesia, karena iklim alam
kita yang cocok dan tanah yang
subur. Tapi sungguh ironis, semua
tanaman yang tumbuh subur di
sini, kita masih mengimpor.
Tidak hanya itu, barang-barang
consumer goods lainnya, seperti
makanan, minuman, rokok, farmasi,
kosmetik dan barang keperluan
rumah tangga lainnya, semua
diimpor. Bahkan, korek kuping pun
kita masih mengimpor.
Atas keadaan ini, pemerintah
sudah wanti-wanti agar kita semua
menjaga pasokan pangan. Sebab,
bank sentral mencatat inflasi
tahunan pada bulan Juli sudah
naik sampai 8,61%, atau sebesar
3,29% untuk inflasi bulanan. Sesuai
dengan hasil survei mingguan,
inflasi bulan Agustus sudah di atas
1%.
Pemerintah boleh saja wantiwanti, tapi bagaimana kita bisa
mandiri dan berdaya jika semua
barang ternyata impor.
Tidak hanya itu, pemerintah
juga jangan gemar bantah
membantah, seperti yang
dilakukan Menteri Sosial Salim
Segaf Al-Jufri saat berdialog
dengan pemulung di kawasan
Cilandak Jakarta Selatan. Ia
membantah bahwa naiknya nilai
tukar rupiah tidak berdampak
pada masyarakat menengah ke
bawah. Pengaruh hanya dirasakan
pengusaha besar. Menurut Salim,
pengaruh paling dirasakan
oleh pengusaha ekspor impor.
Sementara itu, Salim melihat kelas
menengah ke bawah bisa bertahan
seperti krisis moneter pada tahun
1998 lalu.
Persoalan yang sudah sangat
fundamental ini tak cukup diatasi
hanya dengan sekadar wantiwanti dan bantah membantah,
tetapi harus melakukan tindakan
nyata. Memang, pemerintah
telah mengeluarkan 4 paket
kebijakan untuk merespons
situasi guncangan ekonomi
yang terjadi saat ini. Namun,
pemerintah juga harus bertindak
cepat, segera membuat paket
deregulasi yang bisa manjur
mengatasi semua ini. G
5