Geo Energi edisi september indonesia 2013 | Page 32
Laporan Utama
“Kita harus
mempunyai
pemimpin yang
kuat, kalau tidak
ketegasan juga
tidak bisa, semua
saling mematikan
itu tidak baik.”
Sofyan Wanandi
32
Herman.
Jalan keluar lainnya, semua
pipa Transmisi dan Distribusi wajib
mengikuti aturan Open Access.
Sementara diameter pipa transmisi
dan distribusi diatur sehingga tidak
tumpang tindih. “Dan yang terutama,
trader wajib menjual langsung ke
konsumen akhir/industri dengan
membangun jaringan distribusi baru
dan atau mengoptimalkan jaringan
pipa distribusi yang telah tersedia,”
kata Herman.
Herman memberikan beberapa
solusi lain. Untuk persoalan
infrastruktur, pemerintah harus
fokus pada regulasi energi nasional
dan pengembangan infrastruktur.
Sementara SKK Migas fokus pada
upaya peningkatan produksi.
Sementara silang sengkarut
persoalan harga, Herman
mengusulkan agar pemerintah
menunjuk BUMN selaku bisnis
entitas sebagai seller untuk
mengatur pasokan dan harga gas
pipa serta LNG sejalan dengan
kebijakan energi nasional yang
ditetapkan oleh Pemerintah.
Di luar itu, butuh niat baik
pemerintah untuk melaksanakan
komitmen program yang sudah ada.
Untuk hal itu, dibutuhkan pemimpin
yang berkarakter. “Kita harus
mempunyai pemimpin yang kuat,
kalau tidak ketegasan juga tidak bisa,
semua saling mematikan itu tidak
baik,” kata Sofyan Wanandi.
Pemerintah harus fokus
mengatasi silang sengkar ut
persoalan gas. Ada pembagian
tugas yang jelas untuk
menjalankan itu semua. Kasus
seperti suap kepada Rudi
Rubiandini yang bisa melebar
ke pihak-pihak lain, jangan
sampai menggangu konsentrasi
pemerintah dan seluruh
stakeholders di industri gas.
Seluruh stakeholders harus bahu
membahu mengurai kusut masai
industri gas kita.
Bagaimanapun, sektor migas
kita memberikan kontribusi besar
terhadap Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN). Pada
tahun 2013 ini, total kontribusi
industri hulu migas terhadap APBN
diperkirakan akan mencapai Rp
257 Triliun atau 17% dari total
penerimaan domestik. G
EDISI 35 / Tahun III / SEPTEMBER 2013
istimewa
lapangannya,” kata Achmad.
Butuh waktu setidaknya
memerlukan waktu 7-10 tahun
untuk menghasilkan gas, sejak
eksplorasi hingga eksploitasi.
Itupun dengan tingkat risiko besar,
termasuk bila produksi yang gagal.
Hal ini yang menjadi salah satu
penyebab investor gas sangat hatihati menanamkan duit di sektor gas.
Akibatnya, laju produksi gas relatif
lambat.
Sementara di sisi hilir, menurut
Achmad, belum tersedianya
sarang memadai infrastruktur gas
bumi secara utuh dan terpadu.
Lokasi antara lapangan gas dan
pasar, sangat jauh. Saat ini, banyak
lapangan gas di Indonesia ada di
kawasan timur, sementara pasar
potensial ada di kawasan barat
Indonesia.
Terus melonjaknya permintaan
gas, kurang diimbangi dengan
instalasi jaringan pipa transmisi dan
distribusi yang memadai. Alhasil,
banyak daerah di Indonesia yang
belum tersambung oleh jaringan
pipa. Minimnya infrastruktur ini
menyebabkan supplier kesulitan
untuk memasok gas ke konsumen.
“Pasokan gas pipa dan LNG
saat ini masih terkendala karena
terbatasnya infrastruktur,” kata
Anggota Dewan Energi Nasional
(DEN) Prof. Herman Agustiawan.
Persoalan infrastruktur memang
terbilang pelik. Ada dua pendapat
besar yang saling berseberangan
dalam hal ini. Bagi yang pro
pembangunan infrastruktur seperti
PT Perusahaan Gas Negara (PGN),
infrastruktur gas sulit dibangun
selama tidak ada kepastian pasokan
dari hulu (produsen). Pengembang
enggan membangun jaringan pipa
transmisi karena dikhawatirkan ketika
pipa sudah terbangun tidak ada
suplai gas yang memadai.
“Masalahnya, pembangunan
infrastruktur itu terkait dengan
pasokan gas. Kalau pasokannya
tidak bertambah, kita tidak mungkin
membangun infrastruktur lagi, kan?
Kalau kita bangun infrastruktur tapi
tidak ada pasokan gas, untuk apa
infrastrukturnya?” kata Vice President
Corporate Communication PGN,
Ridha Ababil, kepada GEO ENERGI,
Selasa, 20 Agustus 2013.
Di luar PGN, pihak lain justru
mengatakan minimnya pasokan
gas disebabkan tidak adanya
infrastruktur gas yang memadai. Hal
ini yang menyebabkan deadlock
atas solusi permasalahan gas dan
memperlihatkan tidak adanya
koordinasi antara sektor hulu dan
hilir.
Di lokasi pembangunan
infrastruktur eksisting pun,
persoalan tetap ada. Menurut
Herman Agustiawan, kerap terjadi
overlapping pembangunan
pipa transmisi open acces
yang perizinannya melalui BPH
Migas, dengan pembangunan
pipa distribusi dedicated hilir
melalui Ditjen Migas ESDM. Hal
ini menimbulkan inefisiensi dan
cenderung terkumpul di jalur
gemuk tanpa bisa dikontrol.
Selain itu, menurut Herman,
kerap terjadi persaingan tidak sehat
antara pelaku usaha pipa transmisi
dan distribusi. Dari sisi teknis, tidak
ada batasan diameter dan utilisasi
antara pipa transmisi dan distribusi.
“Sebagai solusinya, pemerintah
menunjuk BPH MIGAS (diberi
kekuasaan penuh) untuk mengatur
terkait perijinan dan pengembangan
serta penentuan besaran toll fee
Pipa Transmisi dan Distribusi,” kata