Garuda Indonesia Colours Magazine September 2016 | Page 121
Travel | Bukittinggi
119
© Tjetjep Rustandi; © Mark Eveleigh
terbesar kedua di Sumatera Barat (setelah
Padang), kota dengan penduduk 117.000 jiwa
ini adalah salah satu kota paling tenang
di Indonesia. Luangkan waktu Anda untuk
menjelajahi kota dengan santai menggunakan
bendi (atau berjalan kaki), dan Anda akan
melihat bahwa Bukittinggi masih memiliki
atmosfer sebuah kota pasar yang tenang.
5 Senses – Sight
JUNGLE VIEWS
“Bukittinggi adalah kota
dengan 300 daya kuda,” ujar
Andi Taufik tersenyum saat
mengikatkan kuda jantannya,
Benasok, pada bendi (delman)
yang berjejer di sepanjang jalan
di pasar bawah Bukittinggi.
“Saya mengemudikan bendi
sejak masih kecil dan waktu itu
masih ada lebih dari 1.000.”
The road from coastal Padang up
to the Bukittinggi Highlands is far
too beautiful to be rushed. Take time
to hire a private car and driver and
allow at least half a day so that you
can stop along the way to explore
winding jungle valleys where
monkeys line the road and
hornbills soar overhead.
Udara pegunungan yang sejuk membawa
aroma manis dari buah-buahan tropis dan
sayuran segar, serta aroma rempah dari kios
yang menjual cengkih, pala, kopi dan batangbatang kayu manis terbesar yang pernah saya
lihat. Delman-delman diisi dengan muatan
bahan-bahan segar, lalu para ibu rumah tangga
memanjat ke dalamnya, dan mengobrol seru
dengan kusir pilihan mereka hari itu.
Rute dari pesisir Padang hingga
dataran tinggi Bukittinggi terlalu
indah untuk dilewati begitu saja.
Luangkan waktu untuk menyewa
mobil beserta sopir setidaknya untuk
setengah hari agar dapat berhenti
sejenak dan menjelajahi hutan di
sepanjang jalan, di mana tampak
monyet di tepian jalan dan burung
enggang terbang tinggi di udara.
Kota di dataran tinggi, yang terletak di lereng
gunung berapi Sumatera Barat, ini terkenal
dengan bendi-bendinya yang berwarna cerah.
Sebelum sampai di Bukittinggi, saya mengira
kereta-kereta kuda itu sekarang hanya digunakan
untuk perjalanan wisata di sekitar tempattempat bersejarah. Akan tetapi, Andi Taufik
mengatakan kepada saya bahwa kendaraan
tradisional ini masih menjadi bagian penting
sistem transportasi umum di Bukittinggi,
dengan jumlah lebih dari 300 bendi.
A breathtaking canyon just on the outskirts of
Bukittinggi in the Minangkabau highlands.
Bukittinggi didirikan sebagai pusat
perdagangan untuk lima desa di wilayah
tersebut. Dan kini, kota tersebut telah menjadi
sen tra bisnis terkemuka dan juga pusat
pendidikan. Namun, meski berstatus kota
Minangkabau architecture with its majestic
'buffalo horn' roofs and vibrant carvings.
Meski bendi tersedia di setiap sudut,
sebagian besar pemandangan yang wajib
Anda lihat di kota bersejarah ini mudah
dijelajahi dengan berjalan kaki. Kolonial Belanda
membangun garnisun utama mereka di sini dan
menyebut kota ini Fort de Kock, yang diambil
dari nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Hendrik Merkus de Kock. Bentengnya, yakni
Benteng Fort de Kock, dibangun sebagai pusat
strategis selama Perang Padri tahun 1825. Kini,
benteng batu tua itu kini begitu tenang dan
dikunjungi pasangan-pasangan serta keluarga
yang berjalan-jalan di antara paviliun-paviliun
kecil dan meriam-meriam besi yang ditinggalkan
oleh Belanda. Tembok pertahanan utamanya,
Jembatan Limpapeh, menghubungkan benteng
dengan bagian atas kota yang secara harfiah
disebut ‘Bukit Tinggi’ pada tahun 1949.
Dahulu, jembatan ini (sekarang menjadi
jembatan pejalan kaki) adalah salah satu
rancang bangun terbaik yang dibuat kolonial
Belanda di Sumatera, dan kini jembatan tersebut
menawarkan pemandangan indah atap-atap
bangunan menyerupai tanduk kerbau khas
arsitektur tradisional Minangkabau. Di ujung
timur jembatan Anda akan menemukan
Kebun Binatang Bukittinggi dan di luarnya
ada lorong-lorong Pasar Atas. Jika pasar di
bagian bawah menjual produk-produk segar,
Pasar Atas adalah bazar besar yang menjajakan
bermacam-macam barang, mulai dari baju,
furnitur kayu buatan lokal sampai barangbarang antik peninggalan zaman Jepang dan