Garuda Indonesia Colours Magazine September 2016 | Page 107
Travel | Wakatobi
© WaterFrame / Alamy Stock Photo; Mark Eveleigh; National Geographic Creative / Alamy Stock Photo
5 Senses – Sound
CHEERFUL CHATTER
Spend some time soaking up
the cheerful chatter that is part of
a traditional Orang Bajau (Sea Gypsy)
village. The fact that Bajau is often
spelled Bajo, Badjao, Bajaw, Badjau,
Bayao or even Badjaw would lead you
to think that in reality it is only for
the convenience of outsiders that
these unique communities (with
unique lifestyles and, frequently,
languages) are considered to be the
same people. What they all have in
common is a joyful and easy-going
sense of hospitality.
Nikmati suara obrolan santai yang
juga merupakan salah satu kekhasan
desa Orang Bajau (Gipsi Laut). Bajau
sering dieja Bajo, Badjao, Bajaw, Badjau,
Bayao atau bahkan Badjaw, namun
sesungguhnya masyarakat dengan
kekhasan gaya hidup dan juga bahasa
ini adalah orang-orang yang sama.
Ada kesamaan pada diri mereka,
menyenangkan dan ramah.
105
kapal feri kecil antarpulau dari pelabuhan
nelayan kecil di Kota Wanchi di Pulau WangiWangi dan menyibukkan diri di kanal dekat
Pulau Kambode. Ketika kami melintasi perairan
yang lebih dalam dekat Pulau Komponaone,
saya sudah menikmati sinar matahari, duduk di
atap perahu bersama sekelompok penduduk
pulau yang kembali ke surga sehabis lelah
bekerja kasar di Kota Kendari yang berjarak 200
km dari sini. Saya yakin mereka bahkan merasa
lebih bahagia untuk kembali daripada saya.
Ketika perahu kecil kami menderu di sepanjang
perairan dangkal dekat Pulau Kaledupa, teman
seperjalanan temporer saya melambai dengan
gembira pada teman-teman di rumah-rumah
kayu yang berdiri di atas karang. Beberapa
rumah didirikan dengan pasak-pasak kaku
di atas air, seperti bangau yang canggung,
tetapi yang lainnya berdiri seimbang pada
pulau karang buatan manusia. Saya menyadari
bahwa para tukang yang bermigrasi itu pada
kenyataannya adalah Orang Bajau. Lebih
dikenal di dunia luar sebagai “Gipsi Lautan”,
Orang Bajau adalah salah satu kelompok
etnis berjumlah tak terhitung yang hidup
(sebagian besar masih hidup hingga sekarang)
di garis pantai dari Maluku sampai Myanmar.
Saya telah bertemu “Gipsi Lautan” yang
benar-benar nomaden, hidup di gubuk-gubuk
apung dengan perahu kecil bercadik untuk
menangkap ikan saat mereka mengikuti
gerombolan ikan mengarah ke utara di
sepanjang pantai Sulawesi Tenggara.
Saya juga telah berenang bersama anak-anak
Gipsi Lautan yang menetap di Kepulauan
Alor, Pulau Kalimantan dan Pulau Komodo.
Pernah suatu kali saya mengerjakan penugasan
di wilayah Gipsi Lautan dari Thailand,
yang lebih dikenal sebagai Moken. Saya
mempekerjakan penerjemah bahasa Thai
untuk membantu penulisan artikel itu.
Wakatobi Dive Resort’s team of experienced guides is
available to support guests based on their individual wishes
and needs.
A couple walking along the beach by the Banda Sea.
Bajo people remove their catch of gagadih, or jackfish,
to be sold at the market.
Beberapa menit menjelang wawancara
pertama kami dengan kepala desa Moken,
saya membuatnya tertegun karena saya
seakan bisa berbicara bahasa Moken dengan
nyaris fasih. (Saya membiarkannya tetap heran
hingga saya akhirnya menunjukkan, sore itu,
bahwa saya telah mengetahui bahwa bahasa
Moken yang masih ada sampai sekarang
ini hampir seluruhnya berasal dari
bahasa Indonesia.)
Orang-orang dari Sulawesi Selatan sejarahnya
termasuk di antara para penjelajah besar dunia
dan di zaman kuno mereka menyebar untuk
menjajah banyak wilayah timur Indonesia.
Ada kemungkinan bahwa para ahli sejarah
tidak pernah benar-benar mengetahui tepatnya
batas-batas wilayah penjelajahan mereka.
Tetapi para penduduk pulau yang pemberani
ini (nenek moyang mereka mungkin adalah
para pekerja dari Kaledupa) bahkan bisa saja
telah berlayar sangat jauh untuk menjajah
Madagaskar, lebih dari 8.000 kilometer jauhnya
dengan menempuh kedalaman Samudra Hindia
yang menakutkan. Saat saya berpindah kapal di
dermaga kecil di Kota Tamboeloeroeha, saya
menyadari bahwa beberapa nama tempat
di sini—Kampenaune, Tolandano, Gunung
Sampuagiwolo—anehnya mengingatkan pada
nama-nama dari perjalanan saya ke Madagaskar.