© Mark Eveleigh ; © Simon Onggo |
Saya bangun lebih pagi untuk bertemu salah satu pemandu trekking . Pemuda yang punya nama unik , Tiger ini mengajak saya ke desa terdekat , Waihola . Sewaktu kami melintasi hamparan sawah yang luas — yang masih dibajak dengan kerbau — Tiger bercerita tentang pulaunya . Kebanyakan penduduk Sumba tercatat beragama Kristen , namun masih mempraktikkan agama lokal , Marapu .
Tiger bercerita ketika kami berhenti untuk minum air kelapa yang ia petik sendiri , dan dibelah dengan parang yang selalu ia bawa di pinggangnya . “ Biasanya orang-orang tua yang punya ilmu gaib — dan segelintir anak muda yang masih menjalankan agama Marapu .”
|
“ pohon tengkorak ”, walaupun sudah tidak lagi digantungi tengkorak-tengkorak manusia .
Dato Daku bercerita kepada saya , bagaimana ia dulu harus berjalan kaki 6 km ke sekolahnya setiap hari dan berjalan ke sungai bersama ibu dan tujuh saudara kandungnya untuk mengambil air . Kini , Dato bekerja untuk Yayasan Sumba , organisasi yang telah berperan meningkatkan kualitas kehidupan di banyak desa di Sumba . Sejak didirikan tahun 2001 , yayasan ini telah membuat 300 sumur serta penampungan air , membangun sekolah dan menyuplai kebutuhan untuk 4.200 siswa dan membangun empat klinik yang merawat lebih dari 25.000 orang .
|
2 Puru Kambera beach has a long coastline of white-sand beaches .
3 Rambu Ana shows the tomb of her father , who is a nobleman in Prailiu village .
|
|
Kami berbelok ke ngarai sempit , berdinding karang tajam , yang merupakan pintu masuk ke Desa Waihola yang berbukit-bukit . Atap-atap jerami menjulang di antara kepulan asap dari kayu bakar , seperti topi penyihir raksasa yang berkerumun mengelilingi kuali . Di bawah atap , ada dua pintu kembar yang tampak seperti mata hitam . Pintu di sebelah kanan untuk pria dan pintu kiri untuk wanita . Selain itu , terdapat patung pria dan wanita pada balok atap untuk mengundang roh nenek moyang masuk ke rumah . Rumahrumah ini juga dirancang untuk pertahanan para penghuninya . Terasnya dibuat tinggi sebagai tempat untuk menangkal serangan , sementara atapnya yang curam dipakai untuk menyimpan makanan dan harta pusaka . Maklum , perang pernah menjadi bagian dari kehidupan warga di daerah ini . Bahkan banyak desa masih menyimpan |
Salah satu surga yang tidak boleh terlewati ketika mengunjungi Sumba adalah Danau Weekuri , danau eksotis yang terpisahkan dari laut oleh terbing yang terjal , menjanjikan pengalaman berenang atau menikmati birunya air di tepi danau . Weekuri berasal dari bahasa Sumba , yang berarti air hasil parutan karang yang menerobos ke daratan , kemudian membentuk danau .
Waktu yang tepat untuk mengunjungi Weekuri adalah sore hari saat matahari mulai condong ke barat sehingga langitnya yang biru akan memantulkan cahaya ke danau . Perjalanan menuju danau memang cukup rumit . Terletak di Kodi Utara , Kabupaten Sumba Barat Daya , tak ditemui rambu-rambu penunjuk jalan meski Danau Weekuri sudah dikenal masyarakat umum sejak tahun 2010 . Ruas jalan pun hanya bisa dilalui
|
5 Senses – Sight QUARRY |