Garuda Indonesia Colours Magazine March 2015 | Page 92
90
Explore | Interview
Hermann Delago adalah seorang musisi
multi-instrumentalis, penggubah sekaligus
penata musik asal Tyrol, Austria, yang sarat
pengalaman dalam beragam aliran musik.
Namun, sesuatu yang khusus pada musik Batak
yang tak didapatinya pada musik lain telah
menambat hatinya.
Pada suatu malam di Bali, lagu tradisional
Batak yang populer di seluruh Nusantara,
“Butet”, dengan iramanya yang indah dan
mendayu terdengar di telinga Hermann Delago.
Lagu inilah yang kemudian mengantarnya
terbang ke kampung Batak untuk mengenal
lebih dekat akan musik dan juga budayanya.
Di Samosir, Sumatera Utara—sebuah tanah
Batak—inilah, Delago berinteraksi akrab
dengan penduduk lokal saat berada di lapo
tuak yang banyak ditemukan di pinggir jalan.
Di lapo itu penduduk Samosir biasa berkumpul
untuk makan, minum dan berbincang sambil
menikmati hidangan yang penuh cita rasa serta
minuman beralkohol yang terbuat dari aren,
bernama tuak. Di tempat ini Delago untuk
pertama kalinya mendengarkan musik Batak
langsung di tanah asalnya.
Setelah kunjungan pertamanya ke Samosir
di tahun 1997, Delago langsung terpikat dengan
musik ini. Delago yang telah berinteraksi
dengan banyak jenis musik mengatakan bahwa
dirinya terinspirasi untuk mempromosikan
musik dan budaya Batak, dengan memasukkan
musik Batak ke dalam repertoar musiknya.
“Bagi saya hal ini seperti sebuah kata hati.
Saya pun mengikuti hati dan kecintaan saya
akan budaya Batak,” papar warga Austria
berusia 57 tahun ini.
Perjalanan musik Delago selalu penuh
petualangan dan eksperimen. Semuanya
berawal saat dia mengambil kelas akordion dan
piano di usia 10 tahun. Kelas-kelas tersebut tak
berlangsung lama, namun hal itu tidak
membuatnya berhenti untu k belajar
memainkan trompet, drum, dan keyboard
sendiri. Dua tahun kemudian, dia tampil
perdana sebagai pemain flugelhorn untuk brass
band Landeck-Perjen di kota asalnya. Band itu
kini menjadi bandmaster resmi Delago!
“Ada sesuatu yang sederhana namun tajam
dari lirik, melodi, dan struktur irama musik
Batak yang saya rasakan. Saya merasa sangat
beruntung dapat mengunjungi tanah Batak dan
mempelajari budaya mereka yang luar biasa
serta menikmati langsung jenis musik daerah
yang benar-benar baru untuk saya. Lanskap
pegunungan di sana juga mengingatkan saya
akan kampung halaman. Semakin sering saya
mendengarkan lagu-lagu Batak, semakin saya
jatuh cinta kepada budayanya,” kata Delago
yang kini lancar berbahasa Indonesia.
Delago remaja bermain drum untuk sebuah
rock band, dan ketika belajar di Music Academy
of Innsbruck, dia membentuk Klockwerk
Orange, memainkan gitar utama, trompet,
dan keyboard bersama dengan tiga mahasiswa
lainnya. Mereka menjadi band pertama yang
merilis album rock progresif Tyrolean di tahun
1975 berjudul Abracadabra.
Setelah mengunjungi Indonesia, Delago pun
berkeliling dunia. Dan layaknya musisi dunia,
dia pun terinspirasi dengan banyak hal, antara
lain: keragaman instrumen musik dari berbagai
tempat (misalnya didgeridoo dari Australia),
aliran musik yang berbeda (seperti yang ada
pada musik Batak), dan gabungan suara musik
tradisional yang diaransemen modern.
Dengan cakupan musik yang semakin luas,
Delago memutuskan untuk belajar musik
dengan mengambil jurusan musik kontemporer
dan jazz di Mozarteum Academy of Music and
Performing Arts, Innsbruck. Setelah lulus
tahun 1980, Delago mendirikan Tyrolean Brass
Quintet pertamanya, Pentaton, dan membuat
sejumlah komposisi pertamanya.
Di tahun 2010, Delago bersama dengan musisi,
pencipta lagu sekaligus penata musik terkenal
asal Indonesia, Viky Sianipar, serta sejumlah
penyanyi Batak dan musisi luar negeri
berkolaborasi dalam memproduksi Tobatak,
sebuah album yang memadukan musik Batak
dengan instrumen modern dan musik-musik
di dunia. Sang duo menciptakan bahasa musik
Batak yang baru. Tobatak dirilis tahun 2012 dan
pendistribusiannya ke seluruh dunia ditangani
oleh BSC Music Germany. “Butet” menjadi
single pertama di album tersebut.
Delago pun dikenal sebagai musisi, konduktor,
dan pengajar musik di Eropa seiring dengan
perkembangan kariernya. Kemudian, secara
tidak sengaja, Delago kembali berhubungan
dengan teman masa kecil dari kota asalnya yang
menceritakan kepada Delago tentang
pengalamannya melancong ke Bali. Dia
menggambarkan pada Delago tentang
keindahan alam Bali, kehangatan orangorangnya, dan budayanya yang mengesankan.
Delago pun merasa tergoda. Dia lalu
mengemas kopernya dan mengunjungi
Pulau Dewata di tahun 1995. Di sana, Delago
berkenalan dengan musisi lokal. “Dia pandai
bernyanyi dan bermain gitar. Saya memintanya
untuk menyanyikan lagu dari daerah-daerah
di Indonesia. Dari semua lagu tradisional yang
dinyanyikannya, lagu-lagu Bataklah yang paling
menarik bagi saya,” kenang Delago.
Sampai sekarang pun, lagu “Butet” masih
menjadi lagu Batak favorit Delago. Dia sering
memainkannya dengan gitar untuk keluarga
dan teman yang bertamu ke rumahnya.
Dia bahkan memainkan lagu ini dalam
penampilannya di Italia dan Jerman. Lagu
“Butet” adalah lagu Indonesia yang pertama kali
dipelajarinya. Dalam bahasa Batak, kata butet
Setelah kolaborasi yang digarapnya sukses,
Delago memiliki ide yang lebih besar lagi,
terinspirasi oleh kecintaannya pada budaya
Batak dan Danau Toba yang indah. Bersama
dua orkestra simfoni Austria, Stadtmusik
Landeck-Perjen dan Stadtmusik Imst, serta
manajer konser setempat Henry Manik,
Delago mengelola sebuah pertunjukan
gabungan di Indonesia. Konser melodi
Batak dalam aransemen orkestra digelar
tahun lalu di Medan, dan di Samosir.
Setelah bertahun-tahun bekerja di tengah
komunitas Batak, Delago menjadi warga
kehormatan Batak dengan nama marga Manik.
Delago menerima nama itu ketika menikahi
istrinya yang berdarah Batak, Rosdiana.
“Saya sangat bangga dengan nama marga ini.
Saya bangga menjadi orang Batak. Saya tidak
hanya mencintai budaya Batak karena
musiknya; saya juga mencintai keseniannya,
tradisinya, dan hubungan kekerabatannya
yang erat. Di sini adalah kampung halaman
kedua saya,” kata Delago.
© Thomas Böhm
Perjalanan musik Delago
selalu penuh petualangan
dan eksperimen.
berarti ‘anak perempuan’, dan lagu ini ditulis
tahun 1930-an sewaktu zaman kolonial
Belanda. Lagu ini tentang seorang ibu yang
bercerita kepada anak perempuannya tentang
keberanian sang ayah di medan perang;
karena itulah dahulu lagu ini biasa
dinyanyikan oleh perempuan.