Garuda Indonesia Colours Magazine March 2015 | Page 129
Travel | Saumlaki
127
Sudah lama saya
ingin datang ke Fordata
untuk melihat tradisi
unik mereka, yaitu
tradisi memanggil
ikan hiu.
tradisional yang membentuk desa-desa
kecil berdiri gagah seolah menjadi penjaga
bukit. Karena tak banyak mobil yang
melintasi jalanan ini, anak-anak kecil
berlarian menyambut dan melambaikan
tangannya ke arah kami.
Walaupun kami agak terlambat
meninggalkan Saumlaki karena insiden
mobil yang terjebak lumpur itu, hal itu
tak menjadi masalah, karena saat kami
sampai di dermaga pun mobil tetap
tak bisa menyeberang. Kami harus
menunggu hingga laut pasang.
Fordata terbayang-bayang menyambut
di pelupuk mata. Bertualang di pulau
paling ujung Indonesia memang tidak
selalu dapat diprediksi tapi justru inilah
daya tarik mengunjungi pelosok negara
dengan kepulauan terbesar di dunia.
Selalu ada semangat petualangan yang
dapat ditemukan di sebuah “ekspedisi”
yang pada awalnya tampak sangat sederhana.
Dari pengalaman menjelajah berbagai
tempat terpencil di Kalimantan dan
Sumatera, saya tahu jika alam memberikan
kejutan yang tak terduga maka Anda sedang
berada di tempat yang menakjubkan.
Namun kejutan tersebut tidak langsung
terjadi pada malam itu di Kota Larat
yang sunyi, tetapi keesokan harinya saat
kami berbalik menuju ke selatan pulau dan
menemukan daya tarik utama kepulauan
ini. Saya sadar, kalau saja tadi sudah berhasil
menyeberang ke Fordata, tentunya saya
tak akan sempat menjelajah Desa Sangliat
Dol yang cantik ini.
“Selamat bobo lusin!” (Selamat pagi).
Saya mencoba menyapa sekelompok
bapak-bapak yang tampak ramah yang
sedang duduk di bawah paviliun kayu
di alun-alun utama dengan satu kalimat
Yamdena yang baru saja saya pelajari.
Salah satu dari mereka bernama Pak
Herman. Dengan keramahan khas Yamdena,
dia langsung mengundang kami untuk
bertandang ke rumahnya. Pertama-tama,
kami pergi untuk menyelidiki asal-muasal
perahu batu yang menjadi lambang budaya
desa tersebut. Perahu tersebut tergeletak
jauh di atas laut di puncak bukit yang
tertutup hutan lebat, seolah-olah tersapu
layaknya perahu Nabi Nuh. “Tak ada yang
tahu usia sebenarnya dan siapa yang
membuat perahu tersebut,” kata Pak
Herman. “Perahu itu adalah sebuah
misteri yang dipercaya telah berumur
lima ratus tahun.”
Mungkin perahu itu dibuat sebagai bagian
dari upacara pemujaan dari penjelajah laut
yang juga menjadi penghuni pertama
pulau ini. Ada sebuah kepercayaan di desa
tersebut yang mengatakan bahwa nenek
moyang mereka berasal dari Bali, yang
terletak sekitar 2.000 km jauhnya dari
pulau tersebut. Namun tampaknya tak
seorang pun yang tahu pastinya.
Saat mengobrol dengan Pak Herman dan
teman-temannya, saya pun banyak
mendapatkan informasi tentang misteri
seputar perahu batu tersebut. “Dulu pernah
ada tiang penuh pahatan yang berdiri tegak
di bagian dek kapal,” jelas seorang tetua.
“Hingga suatu pagi—sekitar sepuluh
tahun yang lalu—kami bangun dan
tiang itu sudah tak ada.”
Saking sunyinya, suara sekecil apa pun pasti
dapat terdengar dari rumah-rumah kayu itu.
Hanya ada dua mobil di desa itu sehingga
mereka pasti akan mengetahui jika ada deru
mesin atau bahkan nyala lampu. Atau juga
suara kapal motor yang pastinya dapat
didengar oleh para penghuni gubuk nelayan
di pantai. Satu-satunya cara untuk
memindahkan tiang tersebut tanpa bersuara
adalah dengan membawanya menggunakan
kano. Namun untuk membawa tiang dari
batu setinggi 1,5 meter tersebut
membutuhkan paling tidak tenaga enam
orang laki-laki. Ketika Pak Herman mengajak
saya untuk menuruni 109 anak tangga dari
batu untuk menuju pantai, saya dapat
membayangkan betapa sulitnya hal tersebut
dilakukan pada malam hari tanpa adanya
cahaya lampu. Tidak ada petunjuk apa pun
yang menjelaskan tentang kejadian tersebut,
Pak Damianus Masele (from
Tumbur) is one of the most talented
woodworkers on the island. His elegant
Suri warboats take two weeks to complete.