Garuda Indonesia Colours Magazine March 2014 | Page 106

104 Explore | Interview Berjuang memberantas buta aksara pada masyarakat pedalaman yang hidup di tengah rimba Indonesia, Butet Manurung, seorang aktivis, pengajar dan antropologis, bisa dijuluki Indiana Jones di era modern. Beruang liar, gubuk dan orang-orang bersenjata. Siapapun yang mendengar obrolan saya dengan Butet Manurung, mungkin akan berpikir kami sedang membahas film laga terbaru. Hal ini bisa dimaklumi karena tak semua orang tahu bagaimana bertahan hidup di alam liar, yang pada kenyataannya, mirip seperti cerita film. Di lingkungan NGO, Butet lebih dikenal sebagai pendiri Sokola Rimba, sebuah organisasi non-profit dengan programprogram pendidikan bagi masyarakat pedalaman dan terpinggirkan. Banyak program pemberantasan buta huruf di pelosok Indonesia yang dijalankannya, dan saat ini telah terlaksana di delapan provinsi. Dengan metode yang unik, Sokola juga mengajarkan pemberdayaan diri, yang menurut deskripsi Butet adalah ‘sekolah kehidupan.’ Butet lebih dikenal sebagai pendiri Sokola Rimba, sebuah organisasi non-profit dengan program-program pendidikan bagi masyarakat pedalaman... Saat kami bertemu, sebuah film yang diambil dari nama sekolah ini baru saja selesai dirilis. Film ini menggambarkan perjuangan Butet mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pedalaman. Antara kisah nyata dan cerita dalam film mengenai perjalanan hidupnya, suara Butet saat menceritakan pengalamannya seakan membawa kami ke suatu tempat yang belum terjamah, jauh dari kafe tempat kami duduk saat ini. Diambil dari literatur yang ditulis sendiri oleh Butet, film ini mengisahkan tentang interaksi Butet dengan suku nomaden yang tinggal di Jambi, daerah terpencil di bagian tengah Pulau Sumatera yang dipenuhi hutan lebat. Cerita singkat film ini; setelah mendapatkan gelar sarjana Antropologi, Butet, seorang guru yang idealis, dikirim oleh NGO untuk mengajar anak-anak dari Orang Rimba atau orang-orang yang tinggal di dalam rimba. Perempuan ini pun akhirnya harus bertahan dari segala hal yang tak mengenakkan, bahkan dari penyakit malaria yang hampir merengut nyawanya. Butet juga terpaksa harus berhadapan dengan pihakpihak yang antipati terhadapnya seperti tetua adat yang tak dapat dipercaya dan penebang bersenjata yang mengklaim hutan lindung sebagai tanah milik mereka. Orang-orang itu berpotensi merusak kepercayaan masyarakat yang telah Butet bina selama ini. Akhirnya Butet berusaha menjembatani jurang antara Orang Terang (orang di luar rimba) dan Orang Dalam (orang di dalam rimba) dengan mendirikan Sokola Rimba bersama beberapa temannya. Sungguh sebuah hal luar biasa untuk seorang perempuan yang besar di Jakarta. Tak mengherankan bila Indiana Jones adalah tokoh idolanya. Walaupun pada kenyataannya, ada hal-hal yang tidak sesimpel seperti apa yang digambarkan dalam film – seperti sulitnya mendapatkan dana untuk membuat sekolah itu tetap berdiri – bagi Butet, film itu tetap memancarkan ‘jiwa’ dari cerita sebenarnya. “Ada hal-hal dari film itu yang didramatisir, pastinya, tetapi menurut saya film ini cukup akurat,” ujarnya, sambil menceritakan hubungan baiknya dengan produser Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza. “Walaupun rasanya sedikit aneh untuk saya melihat diri saya diperankan dalam film, tapi saya suka dengan film itu dan juga dengan pesan yang disampaikan di dalamnya,” imbuhnya. Tahun 2013 ini merupakan tahun yang cukup berarti bagi Butet. Di tahun itu sejumlah prestasi diraih Sokola, termasuk dirilisnya film tentang Sokola. Bertepatan dengan cetak ulang buku The Jungle School dan hari jadi ke-10 dari sekolah yang didirikannya, film Sokola Rimba mendapatkan sambutan luar biasa, bahkan meraih penghargaan Piala Maya untuk Film Terbaik. Butet, yang mencoba membagi waktu antara Indonesia dan Canberra untuk memberikan kuliah dan mengunjungi sekolah-sekolah, menyambut baik perhatian yang diberikan film itu kepada masyarakat pedalaman. Kesadaran atas kesulitan yang dialami oleh Orang Rimba, ujar Butet, adalah hal yang bisa membuat dunia kita dan mereka lebih dekat. “Ada banyak kesalahpahaman yang muncul (antara kita dan mereka), tetapi bila kita memiliki tujuan yang sama, kita akan bisa mengubah itu.” Kini dengan lebih dari 10.000 anak dan orang dewasa yang merasakan manfaat dari programprogram Sokola serta rencana untuk membuat sekolah seperti ini tak hanya di Indonesia, masa depan program ini tampak semakin cerah. www.sokola.org