Garuda Indonesia Colours Magazine June 2018 | Page 126

124 Travel | Tana Toraja
Di tempat terbuka yang luas di luar pasar , lebih dari 200 kerbau digiring , dielus-elus dan diberi makan oleh pemilik yang menyayanginya .
© Michal Knitl / Shutterstock
JAKARTA TO MAKASSAR
Flight Time 2 hours , 5 mins
Frequency
35 flights per week
• Toraja
A tongkonan house overlooking a lake .
penilaian itu tidak hanya berdasarkan jumlah kerbau yang dikorbankan , tetapi juga kualitas kerbau tersebut .
“ Kerbau seperti ini adalah Mercedes-nya Tana Toraja ,” kata lelaki tua bernama Pak Rante saat kami mengagumi kerbau besar yang sedang ia mandikan di pinggir jalan . “ Kerbau hitam-putih berbintik-bintik disebut bonga di sini dan ini paling mahal .” Tak cuma warna yang membuatnya mahal , kerbau jenis ini punya semua kualitas yang diinginkan , termasuk mata biru , ekor panjang yang hampir menyentuh tanah dan , tentu saja , ukurannya yang menunjukkan bahwa kerbau dipelihara dengan baik . Salah satu faktor paling penting adalah letak palisu — pusaran bulu pada kepala kerbau .
“ Ini adalah ‘ kepercayaan ’ lokal ,” Ullah menjelaskan , “ Jika palisu-nya ada di tenggorokan , pisau algojo bisa melenceng di saat paling krusial dalam upacara .” Pak Rante memperkirakan bahwa kerbaunya akan terjual sekitar Rp200 juta . “ Dia merendah ,” kata Ullah saat kami kembali ke mobil . “ Tidak jarang kerbau dijual dengan harga dua kali lipat dari itu .”
Pada pagi hari , Ullah menjemput saya di Hotel Misiliana yang bersejarah di Rantepao untuk mengunjungi pasar kerbau di Bolu . Di tempat terbuka yang luas di luar pasar , lebih dari 200 kerbau digiring , dielus-elus dan diberi makan oleh pemilik yang menyayanginya . Hewanhewan paling dihormati di dunia ini akan mengikuti kontes . Meski semua kerbau di sini ditakdirkan untuk disembelih pada upacara pemakaman ( upacara pernikahan dan kelahiran menggunakan hewan yang lebih kecil ), kerbau suci Tana Toraja diperlakukan bak raja para hewan . Bahkan , mempekerjakan hewan ini dianggap sebagai penistaan .
Saat ini , lebih dari separuh orang Toraja bekerja di daerah lain dan mengirimkan uang ke kampung halaman , biasanya untuk menutupi biaya pemakaman yang bisa mencapai Rp2 miliar . Acara besar-besaran ini berawal dari upacara unik yang sudah ada ribuan tahun lalu .
Di desa kecil Kambira , Ibu Windi memperkenalkan kami kepada orang tuanya . Ayahnya , Johannes Lantong , meninggal dua bulan lalu dan ibunya , Alfreda , sudah meninggal lima tahun . Selama itu , Alfreda dibaringkan dan dibalsem dalam peti mati di ruang utama rumah keluarga . Menurut tradisi di Toraja , Johannes dan Alfreda disebut sebagai “ orang sakit ”. Kelak , setelah kerbau pertama dikorbankan dan roh mereka berangkat ke Puya , barulah mereka dikatakan meninggal .
Karena pemakaman mungkin baru bisa terselenggara beberapa tahun lagi , jasad keduanya disimpan di rumah sampai saatnya tiba . Orang Toraja melihat kematian sebagai proses bertahap menuju Puya , bukan kejadian mendadak seperti dalam kebudayaan lain . Saya pun membungkuk ke arah peti mati dan menyapa pasangan tua itu seolah mereka masih hidup . “ Saya masih berbicara dengan orang tua saya seperti sebelum mereka sakit ,” kata Ibu Windi . “ Hanya saja sekarang mereka tidak menjawab lagi .”
Dari dinding kayu ukir di rumah beratap perahu ini saya mendengar ketukan palu . Lebih dari 500 orang sudah bekerja selama satu bulan membangun desa sementara untuk pemakaman , yang tampak seperti lokasi syuting film Seven Years in Tibet . Jika benar Johannes dan Alfreda belum meninggal , putri mereka tentunya ingin memastikan bahwa pemakaman akan menjadi “ hari terbaik dalam hidup mereka ”.