Garuda Indonesia Colours Magazine January 2020 | Page 83

Travel / Bukittinggi  ada sore hari, kota ini akan terlihat melankolis. Di rembang P senja berwarna jingga, Gunung Singgalang dan Marapi berdiri jemawa seperti raksasa yang melindungi kota dari amuk bala... 1. Bendi Coffee, located in a park in front of Ahmad Mukhtar Hospital Bukittinggi, serves a local blend of arabica coffee. 2. Bendi, horse-drawn carts, are used for sightseeing around Jam Gadang Clock Tower. 5 2 Di hadapan saya, lembah hijau menganga, berliku dan sunyi. Di tengahnya, sungai mengalir. Saya bagai masuk ke dalam lukisan Wakidi, pelukis naturalis Indonesia yang hidup di era Mooi Indie pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia terkagum-kagum pada lembah ini. Meski wajah Bukittinggi kini telah banyak berubah dengan menjamurnya hotel dan pusat perbelanjaan, Ngarai Sianok masih sama seperti dalam lukisan Wakidi, sebuah lembah yang benar-benar kekal. Perlahan, kabut berkirap. Gunung Singgalang dan Marapi menampakkan wujudnya diterpa cahaya matahari pagi. Di kaki dan lereng gunung, kampung-kampung kecil masih terkurung kabut. Di masa lalu, kampung-kampung ini makmur dengan mengandalkan lada, cengkih, kayu manis, dan akasia yang laris di pasar dunia. Sejak rempah kehilangan pamornya, masyarakat berpaling menanam sayur, cabai, seledri, bawang, wortel, dan kembang kol. Sekali sepekan, hasil keringat para petani di kaki-kaki gunung itu diangkut oleh truk-truk dengan bak terbuka yang beriringan menuju kota-kota di tengah Sumatera: Jambi, Pekanbaru, Batam, hingga ke Singapura. Berada di ketinggian 930 mdpl, Bukittinggi hanya seluas 25 km 2 , empat persen luas kota Jakarta. Walaupun padat dan telah menjadi kota urban sejak masa kolonial, kota ini tidak pernah benar-benar sibuk. Pada siang hari, terlebih pada hari libur, jalanan dimeriahkan klakson, suara derap telapak kaki kuda yang menarik bendi hilir mudik membawa wisatawan. Jam Gadang peninggalan era kolonial menancap tepat di jantung kota. Selain itu, ada Benteng Fort de Kock peninggalan Belanda, terowongan persembunyian bawah tanah yang dibangun tentara Jepang pada Perang Dunia II, kuda-kuda pacuan yang merumput di arena pacuan Bukik Ambacang, dan aroma rempah dari warung-warung yang memacaki udara lembap. Pada sore hari, kota ini akan terlihat melankolis. Di rembang senja berwarna jingga, Gunung Singgalang dan Marapi berdiri jemawa seperti raksasa yang melindungi kota dari amuk bala, sementara tugu Bapak Bangsa, Bung Hatta mencacak di taman kota. “Dahulu, kota ini banyak melahirkan pemikir dan intelektual. Di Bukittinggi ini dulu berdiri Sekolah Raja. Iklimnya juga membuat kota ini menyenangkan dan nyaman,” tutur Asraferi Sabri, seorang lelaki paruh baya, menceritakan kota tempat tinggalnya kepada saya, saat kami senses: sight Horse-Drawn Cart E/ Bukittinggi is a small city that can be enjoyed in a one-hour tour. Two-wheeled, horse-drawn carts, called bendi, wait at the side of Gadang Clock Park, ready to take you to see historic sights, from the Gadang Clock to the Japanese Tunnels, the Wildlife Park, Fort de Kock Fortress, and the house of one of Indonesia’s founding fathers, Bung Hatta. I/ Bukittinggi adalah kota kecil yang dapat dikelilingi dengan satu jam berkendara. Bendi atau kereta kuda yang biasa mangkal di sekeliling Taman Jam Gadang bisa Anda gunakan untuk menyaksikan peninggalan- peninggalan sejarah, mulai dari Jam Gadang, Lobang Jepang, Taman Marga Satwa, hingga Benteng Fort de Kock, dan rumah proklamator Bung Hatta. 81