Garuda Indonesia Colours Magazine January 2017 | Page 76

74 Explore | Interview
Colours berbincang dengan Wempy Dyocta Koto , wirausahawan , investor , dan pembicara internasional yang ingin melihat lebih banyak orang Indonesia berhasil di panggung dunia .
Lima tahun lalu , Wempy Dyocta Koto menjalani hidup yang nyaman di London . Koto berada di puncak kariernya , memimpin badan pengembangan usaha yang cukup maju , Wardour and Oxford , di mana ia menjabat sebagai chief executive . Koto mendirikan biro ini tahun 2010 , setelah 20 tahun menjalani karier internasional di dunia periklanan , dan menangani sejumlah brand ternama dunia , seperti Microsoft , Samsung , HSBC , Goldman Sachs , dan Sony .
“ Selama ini saya fokus membangun dan mengembangkan karier serta kehidupan seperti yang saya inginkan ,” kata Koto . “ Dan saya sudah punya semua itu . Kemudian , sampailah saya di tahap di mana tujuan hidup saya berubah . Istilah ‘ warisan ’ menjadi hal sangat penting untuk saya . Saya pun merasa terpanggil untuk kembali ke Indonesia dan melakukan sesuatu yang bisa dibanggakan bagi Tanah Air saya .”
Kita begitu haus akan pendidikan , haus akan bimbingan . Itulah hal yang menyemangati dan mampu menginspirasi saya , dan hal itu pula yang memberikan keyakinan pada saya akan makna penting sebuah bimbingan .
Sebagai negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia , Indonesia sering dianggap sebagai “ raksasa tidur ”. Padahal negara ini memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah , penduduk usia produktif , urbanisasi yang pesat , kelas menengah yang terus tumbuh , dan salah satu pasar digital terbesar di dunia dengan 73 juta pengguna internet pada 2015 . McKinsey & Co memperkirakan Indonesia bakal menjadi ekonomi terbesar ketujuh di dunia pada 2030 , menyalip Jerman dan Inggris . Akan tetapi , sebuah artikel di The Guardian menyebutkan bagaimana Indonesia masih menjadi “ hal terbesar yang terlewatkan mata dunia ”.
Koto ingin melihat lebih banyak orang Indonesia yang tampil dan bersaing di tataran internasional . Menurut Koto , “ Para usahawan saat ini harus mampu memperluas cakupan mereka , melewati batas negara karena ide itu tak mengenal batas .” Apalagi di dunia internasional , tambah dia , “ Penting sekali bagi para calon pemimpin masa depan Indonesia untuk juga memiliki sudut pandang dan kebijakan yang bersifat global .”
Lewat sekolah bisnis yang mengambil namanya , Koto telah berkeliling ke seluruh penjuru Nusantara guna bertemu dengan usahawan pemula dan orang-orang muda di mana semangat dan motivasi yang mereka miliki menyentuh hati pria berusia 40 tahun ini . “ Hal ini menunjukkan kepada saya seperti apa Indonesia ,” ujar Koto . “ Kita begitu haus akan pendidikan , haus akan bimbingan . Itulah hal yang menyemangati dan mampu menginspirasi saya , dan hal itu pula yang memberikan keyakinan pada saya akan makna penting sebuah bimbingan .”
Tahun 2015 , Koto menggagas “ The Wempy Dyocta Koto Award ”, di mana masyarakat Indonesia yang tersebar di penjuru dunia bisa mengikutinya . Award ini memberikan hadiah kepada 12 orang Indonesia dalam bentuk bimbingan dari 12 orang mentor luar biasa dan 12 mentor internasional yang inspiratif untuk bimbingan selama 12 bulan .
Koto sendiri menjadi mentor bagi sejumlah usahawan pelopor asal Indonesia yang berbakat . Muhammad Ajie Santika , pendiri dan CEO dari Tinker Games , sebuah developer hiburan digital dan mobile game , nyaris bangkrut sebelum ditangani Koto . Hanya dalam satu tahun di bawah bimbingan Koto , Tinker Games mencatat pendapatan sebesar 800.000 USD .
Anak didik Koto lainnya , Muhammad Alfatih Timur , adalah co-founder dan CEO dari KitaBisa , sebuah usaha crowdfunding ( urun dana ) yang pertama di Indonesia , di mana usaha ini berhasil menjaring dana hingga 4 juta USD untuk 3.000 kegiatan . Timur juga masuk bersama 16 orang Indonesia lainnya untuk kategori pemimpin muda Asia paling menjanjikan , wirausahawan berani dan penggagas perubahan dalam daftar “ 30 Under 30 ” versi majalah Forbes .
Lahir di kota kecil Padang Panjang , Sumatera Barat , Koto bersama keluarganya pindah ke Sydney , Australia , saat usianya tiga tahun . Di sana , Koto meraih gelar Sarjana Komunikasi dari University of Technology Sydney dan Master bidang Studi Internasional dari University of Sydney . Dia juga merupakan lulusan dari THNK School of Creative Leadership di Amsterdam .
Walau saat ini Koto berbasis di London dan Jakarta , dia tak pernah merasa lelah . “ Saya percaya salah satu investasi besar yang bisa kita lakukan adalah dengan melakukan travel ,” ujar Koto . “ Dengan demikian , Anda dapat melihat dunia lewat sudut pandang yang berbeda .”
“ Saya suka terbang dengan Garuda Indonesia ,” ujar Koto , seraya mengakui hal yang biasa dia lakukan saat di pesawat . “ Saya biasanya menyelesaikan pekerjaan saya , menonton film , dan tidur . Saya banyak pergi ke berbagai tempat untuk menjadi mentor , tetapi justru ilmu saya yang bertambah . Saya ingat apa yang pernah dikatakan ibu dan ayah saya , untuk menuntut ilmu , pergilah hingga ke ujung dunia .”