Garuda Indonesia Colours Magazine February 2015 | Page 84

82 Explore | Flavours Cooking fish in banana leaves at Pasar Peunayong. Fried rice at Daus, Nasi Goreng Khas Aceh. Kami kemudian mampir di Daus, Nasi Goreng Khas Aceh, yang berada di sebelahnya dan saya kagum dengan ramainya pengunjung. Di sini pengunjung harus berdiri saat makan dan hidangan hari itu adalah nasi goreng yang ditaburi berbagai suwiran. Anda dapat memilih suwiran favorit Anda dari balik rak kaca. Pengaruh India dalam nasi goreng ini hadir dalam kilau oranye bumbu karinya. Pakar kuliner Indonesia yang juga teman saya, Bondan Winarno, mengatakan bahwa kuliner Aceh merupakan perpaduan unik dari pengaruh Arab, China, Eropa dan India. Tampaknya hal ini benar adanya. Berada di pinggir jalan, saya rasa ini saatnya untuk mencuci mulut. Martabak manis dengan berbagai macam isi, mulai dari cokelat, keju dan kacang ini tampaknya sangat populer. Yang paling menarik dengan jajanan pinggir jalan adalah menyaksikan pembuatannya secara langsung, rasanya seperti tengah mengikuti kelas memasak yang mengungkap keseluruhan proses, mulai dari menggulung hingga memanggang, yang dilakukan tepat di hadapan Anda. Saya pun banyak menulis catatan. Di hari kedua, saya mengunjungi Pasar Peunayong. Aceh juga terkenal dengan makanan lautnya dan tampaknya seluruh isi laut dijual di tempat ini, mulai dari teri hingga ikan tuna yang gemuk dan hiu karang. Saya menuju ke tempat pedagang bumbu giling di lantai atas dan bertemu dengan Ibu Sulastri beserta anak perempuannya, yang memiliki nenek yang sudah berjualan bumbu giling sejak beberapa bulan lalu. Usaha mereka lancar dan memiliki pelanggan tetap. “Bumbu giling yang paling laris adalah bumbu rendang dan ayam goreng,” katanya tersenyum, seraya mengisi kantong plastik dengan bumbu-bumbu giling yang baru saja diraciknya. Kedai kopi Solong sudah lama dikenal oleh masyarakat Aceh dan kami berhenti di salah satu cabangnya untuk kembali menikmati secangkir kopi. Saya ketagihan! Kopi yang terkenal ini disajikan dengan sepiring kue-kue. Saya senang dengan pelayanan yang memilihkan pelanggan apa yang harus dicoba ini. Saya menikmati pisang goreng yang dilapisi tepung super renyah dan ditaburi oleh gula-kayu manis. Kue timpan (kue labu kenyal lapis yang dikukus), kue khas daerah setempat juga disajikan. Setelah memulainya dengan makanan manis, saya memesan lontong sayur, ketupat dan sayuran dengan tambahan rendang sapi, semua itu saya pesan karena tubuh saya yang menjerit meminta asupan protein untuk menyeimbangkan kadar kafein dan gula yang berlebih dalam tubuh. Kami akhirnya tiba di rumah makan Bu Si Itek Bireuen untuk mencicipi rendang bebek, kami tiba tepat saat rumah makan ini dibuka. Wajan-wajan besar di pintu masuk rumah makan ini menandakan betapa larisnya tempat ini. Hanya dalam hitungan menit, tempat ini sudah hampir penuh. Meja kami dipenuhi oleh berbagai macam makanan termasuk bebeknya yang terkenal, kangkung, telur asin, kerupuk dan sejenis otak-otak, yaitu makanan dari ikan yang direbus dan dibungkus daun pisang. Tapi menu ayam tangkap itulah yang menarik perhatian saya. Ayam goreng ini diolah dengan campuran dedaunan yang ditumis seperti cabai hijau, daun pandan dan daun kari. Kami berkeliling Banda Aceh di sela-sela wisata kuliner ini untuk melihat dampak kerusakan yang diakibatkan oleh tsunami. Banyak bangunan telah dibangun kembali, bahkan seluruh kota tampak begitu bersih, rasanya seperti benar-benar baru. Di dekat laut terlihat beberapa petak tanah penuh puing-puing bangunan yang tampak telantar di tengah kesunyian, mungkin karena seluruh penghuninya telah tiada, kata pengemudi kami. Kami mengunjungi Museum Tsunami dan sekali lagi kami melihat foto-foto yang bercerita tentang kerusakan dan keputusasaan. Di beberapa kedai kopi saya melihat beberapa karyawannya yang masih muda dan membayangkan usia mereka yang mungkin masih 10 tahun saat tsunami itu terjadi. Faktanya, setiap orang yang saya jumpai mungkin telah kehilangan setengah anggota keluarganya namun ketabahan jiwa mereka tetap membara, dan hidup tetap berlanjut. Puncak perjalanan kuliner saya adalah Warung Nasi Hasan. Di tepi sawah, di rumah makan bergaya rumah panggung tradisional ini, kami menikmati pesta udang raksasa, gulai ikan, gulai kambing, perkedel jagung, daun singkong, ayam goreng dan sambal udang yang unik dengan jeruk limau, dan kesemuanya itu lalu ditutup dengan jus mentimun, “Untuk menurunkan kadar kolesterol setelah makan besar!” kata pemiliknya. Penulis Inggris dan pengamat restoran A. A. Gill, mengatakan bahwa “Negara-negara yang dikelilingi laut tumbuh berbeda dibandingkan daerah lainnya.” Walaupun dikelilingi lautan di ketiga sisinya, Aceh bukanlah pulau, namun seperti sebuah negara. Tempat yang terletak di ujung paling utara di Sumatera ini dianugerahi satu keuntungan yang paling diinginkan, yaitu pintu masuk ke sebuah rute perdagangan laut yang paling penting di Asia: Selat Malaka. Faktanya selat inilah yang membentuk sejarah Aceh. Tapi mungkin gelombang tersebut membuat Aceh menemukan jati dirinya sendiri. Sulit rasanya untuk tidak terpesona dengan pesona tempat yang unik ini. Namun, saya yakin kopi Gayo masih mengalir dalam darah saya, dan ketika aliran tersebut terhenti, maka itulah saatnya saya harus kembali. JAKARTA TO BANDA ACEH Flight time 2 hours, 30 minutes Frequency 14 flights per week • Banda Aceh