Garuda Indonesia Colours Magazine December 2017 | Page 135
Travel | Morotai
133
3
Setelah berkonsultasi dengan para peselancar, kami
memutuskan bergerak ke arah utara. Karena pesisir utara
Morotai lebih terekspos dengan gelombang samudra.
Frinco dan saya bangun lebih pagi keesokan
harinya, siap melanjutkan penjelajahan di
Pacific Highway. Sesampainya di desa, ternyata
ketinggian gelombang di Buho Buho turun
drastis dan bahkan hampir tidak ada ombak.
Setelah berkonsultasi dengan para peselancar,
kami memutuskan bergerak ke arah utara.
Karena pesisir utara Morotai lebih terekspos
dengan gelombang samudra, lebih besar
kemungkinan untuk menemukan ombak
untuk berselancar di sini. Pantai-pantainya
konon kabarnya juga lebih indah dibanding
pantai-pantai di selatan. Karena penjelajahan
kami sepertinya sudah didengar orang-orang
di desa sejak kami mengunjungi Batu
Lobang, hari ini lebih banyak peselancar yang
ingin mengikuti petualangan ini.
John, seorang siswa SMA lainnya dari Buho
Buho, membawa sebuah papan kayu, yang
dibuat dengan tangan dan telah melewati
proses finishing alami menggunakan air laut
dan matahari. Dia bercerita, kakak laki-
lakinya membuat papan selancar itu dari
kayu perahu tua milik ayah mereka. Perahu
itu sendiri dibuat menggunakan batang
potong tinggi yang ditebang dari gunung di
atas desa mereka bertahun-tahun yang lalu.
“Berapa meter ombak paling tinggi yang
pernah kamu taklukkan dengan papan ini?”
tanya saya. “Lima meter,” jawabnya dengan
tatapan bangga, yang membuat saya
terkagum. Bahkan peselancar berpengalaman,
dengan peralatan paling modern sekalipun,
bisa kesulitan menghadapi ombak yang besar.
Saya jadi terkesan dengan keterampilan dan
keberanian para peselancar Morotai.
Sayangnya, Laut Pasifik kala itu sedang tenang.
Padahal, saya ingin sekali melihat peselancar
Buho Buho menaklukkan ombak setinggi
rumah. Kami pun memutuskan untuk mencari
pantai lain, dan Frinco membawa kami ke
Bere Bere, untuk menuju Pulau Tabailenge.
Colours GA BPTV.indd 1
11/13/17 3:08 PM