KOMUNITAS
“Anggotanya, atau kami menyebutnya volunteer, orang-orang yang ikut kopdar pertama
kali. Ada delapan orang,” kata salah satu penggiat Bookpacker, Sigit Prabowo.
Konsep kegiatan Bookpacker sederhana
saja. Sambil jalan-jalan ke tempat wisata, mereka
mampir sejenak ke desa sekitar untuk memberikan buku yang mereka bawa dari Bandung
(basecamp). Masing-masing yang ikut jalan-jalan diwajibkan membawa satu buah buku untuk
umur SD dan SMP. Tapi sebelumnya mereka juga
sudah mengumpulkan buku-buku tersebut dari
volunteer yang tidak ikut jalan-jalan.
Jadi di setiap perjalanan Bookpacker,
mereka akan mengantarkan buku-buku yang
mereka bawa itu ke TPA (tempat penitipan anak)
atau pihak yang memang berwenang di sana,
seperti ketua RT/RW atau kalau ada di perpustakaannya langsung.
Muncul semacam kekuatiran, bagaimana
kalau bukunya nanti berceceran dan tidak dirawat? Bagaimana mengontrolnya. Ya, di situ
tantangannya memang. Untuk meminimalisir
risiko itu, caranya dengan memberikan buku itu
ke tangan yang dianggap paling amanah.
Sejak terbentuk 8 maret 2013 lalu,
Bookpacker sudah melakukan dua perjalanan.
Pertama, ke Kampung Naga (Tasikmalaya). Buku
dititipkan ke TPA. Yang kedua adalah ke Gunung
Papandayan (Garut). Buku dititipkan ke Ketua
RW di Desa Mekerwangi.
“Kami bertemu dengan Ketua RW yang disambut baik niatan yang kami lakukan karena beliau
sudah merencanakan membangun sebuah
taman bacaan bagi anak-anak di sana. Dalam
memberikan buku, kami tidak menghubungi
siapa-siapa sebelum berangkat. Jadi, kami datang
dan kemudian sejenak mencari orang yang memang bisa kami percaya untuk menjaga amanah
buku yang akan diberikan.
Kenapa seperti ini? Karena hal ini sekaligus melatih kami para traveller untuk mengasah
kemampuan kami dalam bersosialisasi dengan
orang-orang baru yang bukan untuk manfaat
pribadi seperti yang umumnya kami lakukan.
Misalnya untuk dapat tumpangan menginap,
hehe,” jelas Sigit.
Kenapa buku? Karena Bookpacker ingin
pengetahuan itu bukan hanya milik anak-anak di
kota dan anak-anak yang “beruntung”. Bookpacker juga ingin anak-anak yang “kurang beruntung”
bisa menikmati pengetahuan layaknya anak-anak
yang lain.
Terus, kenapa buku-buku untuk umur
SD-SMP? “Karena pada masa ini, jika kebiasaan
membaca sudah tertanam, maka mereka kemungkinan besar akan tetap memiliki minat baca
yang tinggi di kemudian hari. Untuk SMA ke atas,
kita belum memfokuskan ke sana,” kata Sigit.
MEMBERIKAN BUKU ITU
KE TANGAN YANG
DIANGGAP AMANAH
43
b a c k p a Ck i n I
A pril - M E I 2 0 1 3
APRIL-MEI 2013
I b a c K p a Ck i n
44