ESCAPE ASIA Nov. 2013 | Page 41

KOMUNITAS “Anggotanya, atau kami menyebutnya volunteer, orang-orang yang ikut kopdar pertama kali. Ada delapan orang,” kata salah satu penggiat Bookpacker, Sigit Prabowo. Konsep kegiatan Bookpacker sederhana saja. Sambil jalan-jalan ke tempat wisata, mereka mampir sejenak ke desa sekitar untuk memberikan buku yang mereka bawa dari Bandung (basecamp). Masing-masing yang ikut jalan-jalan diwajibkan membawa satu buah buku untuk umur SD dan SMP. Tapi sebelumnya mereka juga sudah mengumpulkan buku-buku tersebut dari volunteer yang tidak ikut jalan-jalan. Jadi di setiap perjalanan Bookpacker, mereka akan mengantarkan buku-buku yang mereka bawa itu ke TPA (tempat penitipan anak) atau pihak yang memang berwenang di sana, seperti ketua RT/RW atau kalau ada di perpustakaannya langsung. Muncul semacam kekuatiran, bagaimana kalau bukunya nanti berceceran dan tidak dirawat? Bagaimana mengontrolnya. Ya, di situ tantangannya memang. Untuk meminimalisir risiko itu, caranya dengan memberikan buku itu ke tangan yang dianggap paling amanah. Sejak terbentuk 8 maret 2013 lalu, Bookpacker sudah melakukan dua perjalanan. Pertama, ke Kampung Naga (Tasikmalaya). Buku dititipkan ke TPA. Yang kedua adalah ke Gunung Papandayan (Garut). Buku dititipkan ke Ketua RW di Desa Mekerwangi. “Kami bertemu dengan Ketua RW yang disambut baik niatan yang kami lakukan karena beliau sudah merencanakan membangun sebuah taman bacaan bagi anak-anak di sana. Dalam memberikan buku, kami tidak menghubungi siapa-siapa sebelum berangkat. Jadi, kami datang dan kemudian sejenak mencari orang yang memang bisa kami percaya untuk menjaga amanah buku yang akan diberikan. Kenapa seperti ini? Karena hal ini sekaligus melatih kami para traveller untuk mengasah kemampuan kami dalam bersosialisasi dengan orang-orang baru yang bukan untuk manfaat pribadi seperti yang umumnya kami lakukan. Misalnya untuk dapat tumpangan menginap, hehe,” jelas Sigit. Kenapa buku? Karena Bookpacker ingin pengetahuan itu bukan hanya milik anak-anak di kota dan anak-anak yang “beruntung”. Bookpacker juga ingin anak-anak yang “kurang beruntung” bisa menikmati pengetahuan layaknya anak-anak yang lain. Terus, kenapa buku-buku untuk umur SD-SMP? “Karena pada masa ini, jika kebiasaan membaca sudah tertanam, maka mereka kemungkinan besar akan tetap memiliki minat baca yang tinggi di kemudian hari. Untuk SMA ke atas, kita belum memfokuskan ke sana,” kata Sigit. MEMBERIKAN BUKU ITU KE TANGAN YANG DIANGGAP AMANAH 43 b a c k p a Ck i n I A pril - M E I 2 0 1 3 APRIL-MEI 2013 I b a c K p a Ck i n 44