Edisi XVIII Jun 2022 Internet & Keluarga XVIII Jun 2022 | Page 14

mengakses gawai pintar. Penderita gangguan ini tidak dapat hidup tanpa telepon pintar satu hari saja. Selain itu, jumlah waktu yang dihabiskan dengan gawainya juga sangat masif minimal 6 jam per hari.

 

Selain itu, sosial media juga rentan untuk memupuk atau mengembangkan narsisme atau megalomania. Megalomania adalah suatu kondisi dimana seseorang merasa dirinya yang paling hebat, pintar, benar, cakap, dsb. Sedangkan, seorang narsis adalah seorang yang cinta diri sendiri, terutama dalam hal fisik, tidak mampu melihat kekurangan diri, merasa dirinya penting, dan patut dikagumi. Seorang megalomania biasanya adalah seorang narsis. Meski demikian, seorang narsis belum tentu seorang megalomania. Lalu dimana peran narsisme dan megalomania di sosial media? Sosial media dibuat sedemikian menstimulus seseorang untuk memberitahukan tentang dirinya. Adalah hal yang lumrah jika sebagian besar orang hanya ingin menampilkan sisi baik dan positif tentang dirinya. Yang terjadi di sosial media adalah banyak orang berusaha untuk selalu menampilkan sisi terbaik tentang dirinya. Selain itu, keinginan untuk dipandang dan kecemburuan atau iri akan kelebihan orang lain bisa membuat orang menampilkan diri di sosial media secara berlebihan. Kecenderungan untuk menjadi narsis atau bahkan megalomania di sosial media sangat besar. Jangankan pada anak dan remaja, orang dewasa pun rentan terkena hal ini.

 

Sosial media melanggengkan banyak stereotipe, termasuk juga stereotipe yang terkait dengan kecantikan dan bentuk tubuh yang ideal. Rambut lurus saat ini dianggap sebagai standar kecantikan. Hal ini berbeda dengan rambut bergelombang atau bahkan keriting yang sangat in di tahun 60an dan 70an. Bentuk tubuh yang langsing dan semampai juga menjadi standar kecantikan yang ideal. Demikian pula dengan standar-standar kecantikan fisik lainnya. Hal ini membentuk persepsi bahwa rambut, kulit, hidung, bentuk tubuh, dsb tertentulah yang dipandang cantik atau ganteng. Sehingga, body shaming atau mempermalukan orang karena bentuk tubuhnya bisa menjadi hal yang dipandang lumrah. Perawatan kulit yang berlebihan agar bisa memiliki kulit yang putih yang digembar-gemborkan sebagai kesempurnaan banyak dialami oleh kaum remaja dan dewasa muda. Bahkan, tidak sedikit yang terkena bulimia dan anoreksia demi mencapai bentuk tubuh langsing yang katanya ideal itu. Jika anda berpikir bahwa body shaming, perawatan kulit, atau bahkan bulimia dan anoreksia hanya dialami oleh remaja dan dewasa muda perempuan, coba perhatikan produk-produk mode dan kosmetik untuk laki-laki. Model yang ditampilkan oleh merek dengan konsumen remaja dan dewasa muda laki-laki sama putih dan langsing sebagaimana dengan model perempuan. Meski terkesan tidak serentan kaum perempuan, namun kaum laki-laki pun memiliki potensi yang sama dalam mengalami gangguan psikis akibat standar kecantikan yang digariskan oleh sosial media.