EDISI XIV Juni 2021 Kekerasan Juni 2021 | Page 22

Faktor kepribadian bisa menjelaskan mengapa para pelaku pelecehan sering kali tidak merasa sadar bahwa tindakannya melewati batas. John Bargh dkk menjelaskan fenomena ini. Laki-laki yang cenderung melakukan kekerasan seksual menghubungkan secara tidak sadar antara kekuasaan dengan seksualitas. Ketika pelaku berada dalam kondisi memiliki kekuasaan, situasi ini memicu bawah sadarnya secara seksual. Dalam eksperimen yang dilakukan di tahun 1995, peneliti memberi tugas responden laki-laki untuk menyelesaikan daftar kata-kata yang belum lengkap. Kata-kata yang dipilih berasosiasikan kekuasaan (seperti otoritas, kuat, macho). Peserta penelitian juga bisa mendapatkan daftar kata lain yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan. Tahap ini dipakai untuk mengkondisikan (priming) responden dengan konsep kekuasaan atau netral. Selanjutnya peserta mengerjakan tugas “ilusi visual” secara mandiri, yang “kebetulan” ada “peserta” wanita lain yang turut juga mengerjakan tugas yang sama. Pada tahap berikutnya peserta dipisahkan dan diberi tahu bahwa tujuan penelitian “sebenarnya” adalah tentang pembentukan kesan dalam interaksi yang minimal. Dalam tahap ini responden mengisi kuesioner yang terdiri dari berbagai pertanyaan. Pertanyaan yang penting dalam kuesioner ini adalah seberapa menarik ia menilai “rekan sesama responden” dan kecenderungan untuk berkenalan lebih lanjut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang memiliki an kecenderungan untuk melakukan kekerasan seksual (likelihood to sexually harass) dan dikondisikan dengan konsep kekuasaan akan menilai rekan wanita sebagai lebih menarik dan lebih ingin berkenalan lebih lanjut. Jawaban mereka lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan laki-laki yang dikondisikan secara netral, dan dibandingkan dengan laki-laki dengan kecenderungan rendah untuk melakukan pelecehan seksual. Eksperimen ini menunjukkan bahwa laki-laki yang memiliki kecenderungan tinggi untuk melakukan pelecehan seksual memiliki asosiasi kuat antara kekuasaan dengan seksualitas. Oleh karena asosiasi ini terjadi di bawah sadar, pelaku pelecehan cenderung menyalahkan situasi, seperti sikap atau perilaku korban dalam perbuatan pelecehan yang dilakukannya.

Oleh karena pelaku seringkali tidak sadar atas motivasi kejahatannya, payung hukum untuk melindungi pekerja dan iklim di dunia kerja sangatlah penting. Sayangnya, walau memiliki Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja, Indonesia masih belum memiliki undang-undang yang melindungi pekerja dari pelecehan seksual di dunia kerja. Dalam hal ini Indonesia ketinggalan dibandingkan negara ASEAN seperti Malaysia, Filipina, Kamboja, dan Thailand, dan 75 negara lainnya.

            Jika payung hukum tiada, lalu bagaimana pelecehan seksual di dunia kerja bisa dicegah? Joni Hersch dari IZA World of Labor mengemukakan tiga cara yang dapat dipakai untuk mencegah pelecehan seksual di dunia kerja. Langkah pencegahan pertama yang perlu dilakukan adalah dari pihak perusahaan. Pihak perusahaan perlu membuat pernyataan menentang pelecehan seksual di dunia kerja, memberlakukan kebijakan prosedur pengaduan pelecehan seksual, sekaligus pengungkapan upaya perlindungan pada karyawan yang melaporkan kasus pelecehan. Hersch mengusulkan sistem sertifikasi standard manajemen perusahaan,

22

/ A&O EDISI XIV Juni 2021