Lilly melangkah masuk ke gedung kantor. Ia melihat salah seorang koleganya di pintu masuk utama dan menyapanya sambil tersenyum, “Selamat pagi.” Lilly merasa kolega tersebut pura-pura tidak mendengar sapaannya. Lilly memutuskan untuk mengabaikannya. Ia tidak ingin perasaannya di pagi hari rusak hanya karena hal kecil. Di lift ia mendengar beberapa orang berbisik, “Hari ini ia memakai rok untuk menggoda laki-laki.” Lilly heran siapa yang dimaksud karena kebetulan ia satu-satunya yang memakai rok di lift dan ia menganggap tidak sopan membicarakan soal itu di muka umum, di mana orang lain bisa salah paham. Untuk menanyakan langsung, Lilly ragu-ragu. Ia tidak mengenal orang-orang itu dan tidak ingin berurusan dengan orang-orang semacam itu. Ketika sampai di lantai bagiannya, Lilly keluar dari lift. Ia tersenyum ketika melihat salah seorang rekan. Namun, kenapa rekan tersebut membuang muka? Lilly heran, apa yang telah dilakukannya? Apakah orang-orang tidak menyukainya? Bisa jadi Lilly tidak melakukan kesalahan, namun ia mengalami bully di pekerjaan.
Menurut Nielen, seorang profesor di Institut Kesehatan Bagian Dunia Kerja di Norwegia, bully adalah situasi di mana seseorang diperlakukan dengan buruk secara sistematis dan dalam jangka waktu yang lama oleh sebagian rekan, atasan atau bawahan, di mana ia sulit membela diri dan pada akhirnya berakibat pada stigmatisasi korban. Perlakuan buruk ini bisa berupa penganiayaan emosional secara terus-menerus, ucapan yang menyakiti atau mempermalukan, serta isolasi sosial. Bully atau mobbing merupakan sinonim, di mana istilah bully lebih sering digunakan di Eropa, sedangkan mobbing lebih sering dipakai di Amerika Utara.
Kesalahpahaman yang seringkali muncul dalam hal bully adalah anggapan bahwa bully merupakan hal lumrah yang ada di dunia kerja. Pernyataan ini tidak benar karena penelitian menunjukkan bahwa korban merasakan dampak mobbing pada tingkat kebahagiaan dan kesehatannya, dalam jangka waktu dua tahun kemudian. Seandainya kekerasan emosional adalah fenomena umum yang terjadi pada semua orang di dunia kerja, maka dampak kesehatan juga akan dialami oleh pekerja yang menyaksikan dan melakukan bully. Namun demikian, data menunjukkan bahwa dampak kesehatan berat hanya terjadi pada korban. Berbagai studi di Eropa menunjukkan bahwa, tergantung dari definisi dan tingkat keparahan kasus, mobbing menimpa 2% – 38% dari pekerja. Bully sendiri merupakan proses yang terjadi secara terus-menerus dan semakin lama akan bertambah parah. Rata-rata durasi teror psikologis di tempat kerja terjadi selama 18 bulan sampai lebih dari 4 tahun.
Ada kesalahpahaman yang menyamakan bully dengan lelucon. Bully merupakan kekerasan emosional yang tidak lucu dan menyakiti perasaan orang lain. Lelucon yang merupakan tindakan mobbing bertujuan mempermalukan korban. Isi ejekan hanya terjadi satu arah dan tidak bisa diterapkan ke arah pelaku. Selain itu, lelucon hanya ditujukan pada korban yang sama yang menjadi bulan-bulanan, isinya monoton dan terus-menerus diulang seperti ritual. Lelucon semacam ini menunjukkan bahwa pelaku kekerasan sebenarnya tidak memiliki rasa humor.
Ada juga yang menganggap bahwa mo
bbing di dunia kerja sangat bergantung pada perspektif korban. Dengan kata lain, korban bully dianggap memiliki kepribadian yang sangat sensitif sehingga orang lain yang menerima hal sama tidak menganggap hal tersebut sebagai bully. Ståle Einarsen dan timnya dari Universitas Bergen di