JANGAN
SEKALI-KALI
MELUPAKAN
SEJARAH
P
ada peringatan Hari Kemerdekaan RI 17
Agustus 1966 Presiden pertama RI Ir. Soekarno
menyampaikan pidatonya yang diberi tajuk “Jangan
sekali-kali melupakan sejarah”. Pidato Soekarno tersebut
ternyata merupakan pidatonya yang terakhir sebagai
seorang presiden, karena pada tanggal 12 Maret 1967
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
melalui Sidang Istimewa secara resmi melengserkannya
dari kursi kepresidenan yang telah dijabat selama 22
tahun (1945 – 1967). Jenderal TNI (Purn./alm.) A.H.
Nasution menyampaikan bahwa para aktivis mahasiswa
yang mengakronimkan judul pidato tersebut menjadi “Jas
Merah”. Pidato itu sendiri hingga kini masih menyiratkan
berbagai penafsiran. Mengapa seorang tokoh dan negarawan
sekaliber Soekarno kerap mengangkat masalah kesejarahan
dalam beberapa pidatonya? Pidato “Jas Merah” beliau
sendiri berintikan betapa pentingnya rakyat Indonesia
memahami sejarah bangsanya, agar tidak kehilangan jati diri
dan tergelincir di masa mendatang.
Mengapa Harus Paham Sejarah?
Meskipun tulisan ini mengambil tajuk “Jas Merah”
dari pidato Presiden Soekarno, penulis tidak bermaksud
mengupasnya secara khusus, namun lebih pada makna apa
yang dapat dipetik sebagai pembelajaran. Berbicara sejarah
memang tidak dapat dilepaskan dari masa lalu sebagai
sebuah fakta, kejadian atau peristiwa yang pernah terjadi. Di
sinilah, kerap terjadi kekeliruan persepsi atau pemahaman.
Banyak orang (terutama generasi muda) menganggap bahwa
mempelajari sejarah berarti “sebatas menghafal tanggal,
tahun, nama bahkan memposisikan mana yang hitam dan
mana putih, tanpa berupaya memahami mengapa terjadi”.
Sejarah dipandang sebagai sesuatu yang remeh dan tidak
up to date, sehingga sering diasosiasikan dengan segala
sesuatu yang serba kekuno-kunoan dan usang. Meskipun
tak dipungkiri bahwa dalam mempelajari dan menulis buku
atau catatan sejarah harus mengetahui secara detail perihal
kapan, di mana dan siapa dari sebuah fakta/kejadian di masa
lalu. Oleh sebab itu, menulis sejarah harus bermuara pada
5 W (what, where, who, when, why) 1 H (how). Semua itu
untuk menjamin keautentikkan dan keakuratan data serta
fakta sejarah.
Secara etimologi, kata sejarah sendiri berasal dari bahasa
Arab, yaitu Asy-Syajaroh, yang berarti “pohon”. Abu Zayd
‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami
atau lebih populer sebagai Ibnu Khaldun, sejarawan Tunisia
yang hidup pada abad ke-12 Masehi menuturkan bahwa
“Sejarah adalah pengetahuan tentang proses-proses
berbagai realitas dan sebab-musababnya secara
mendalam”. Dengan demikian sebuah fakta sejarah, entah
itu terkait hitam – putih riwayat seseorang atau bangsa,
kegagalan maupun kesuksesan, harus dipahami secara
utuh, tidak terkotak-kotak. Semua itu guna menghindari
terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan data sejarah
yang pada akhirnya akan menimbulkan kerancuan dan
kekeliruan pemahaman. Inilah yang paling dihindari dalam
Cakrawala Edisi 423 Tahun 2014
51