Cakrawala Edisi 423 Tahun 2014 | Page 51

JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH P ada peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1966 Presiden pertama RI Ir. Soekarno menyampaikan pidatonya yang diberi tajuk “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Pidato Soekarno tersebut ternyata merupakan pidatonya yang terakhir sebagai seorang presiden, karena pada tanggal 12 Maret 1967 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) melalui Sidang Istimewa secara resmi melengserkannya dari kursi kepresidenan yang telah dijabat selama 22 tahun (1945 – 1967). Jenderal TNI (Purn./alm.) A.H. Nasution menyampaikan bahwa para aktivis mahasiswa yang mengakronimkan judul pidato tersebut menjadi “Jas Merah”. Pidato itu sendiri hingga kini masih menyiratkan berbagai penafsiran. Mengapa seorang tokoh dan negarawan sekaliber Soekarno kerap mengangkat masalah kesejarahan dalam beberapa pidatonya? Pidato “Jas Merah” beliau sendiri berintikan betapa pentingnya rakyat Indonesia memahami sejarah bangsanya, agar tidak kehilangan jati diri dan tergelincir di masa mendatang. Mengapa Harus Paham Sejarah? Meskipun tulisan ini mengambil tajuk “Jas Merah” dari pidato Presiden Soekarno, penulis tidak bermaksud mengupasnya secara khusus, namun lebih pada makna apa yang dapat dipetik sebagai pembelajaran. Berbicara sejarah memang tidak dapat dilepaskan dari masa lalu sebagai sebuah fakta, kejadian atau peristiwa yang pernah terjadi. Di sinilah, kerap terjadi kekeliruan persepsi atau pemahaman. Banyak orang (terutama generasi muda) menganggap bahwa mempelajari sejarah berarti “sebatas menghafal tanggal, tahun, nama bahkan memposisikan mana yang hitam dan mana putih, tanpa berupaya memahami mengapa terjadi”. Sejarah dipandang sebagai sesuatu yang remeh dan tidak up to date, sehingga sering diasosiasikan dengan segala sesuatu yang serba kekuno-kunoan dan usang. Meskipun tak dipungkiri bahwa dalam mempelajari dan menulis buku atau catatan sejarah harus mengetahui secara detail perihal kapan, di mana dan siapa dari sebuah fakta/kejadian di masa lalu. Oleh sebab itu, menulis sejarah harus bermuara pada 5 W (what, where, who, when, why) 1 H (how). Semua itu untuk menjamin keautentikkan dan keakuratan data serta fakta sejarah. Secara etimologi, kata sejarah sendiri berasal dari bahasa Arab, yaitu Asy-Syajaroh, yang berarti “pohon”. Abu Zayd ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami atau lebih populer sebagai Ibnu Khaldun, sejarawan Tunisia yang hidup pada abad ke-12 Masehi menuturkan bahwa “Sejarah adalah pengetahuan tentang proses-proses berbagai realitas dan sebab-musababnya secara mendalam”. Dengan demikian sebuah fakta sejarah, entah itu terkait hitam – putih riwayat seseorang atau bangsa, kegagalan maupun kesuksesan, harus dipahami secara utuh, tidak terkotak-kotak. Semua itu guna menghindari terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan data sejarah yang pada akhirnya akan menimbulkan kerancuan dan kekeliruan pemahaman. Inilah yang paling dihindari dalam Cakrawala Edisi 423 Tahun 2014 51