menggetarkan dadanya.
Namun cita-citanya
untuk menjadi kesatria berilmu tidak langsung
loyo. Dia bahkan melakukan upaya spektakuler
dengan membuat patung Sang Guru dari batu.
Diberikannya hormat dan sembah kepada “Sang
Guru” setiap pagi, lalu mulailah ia berlatih sendiri
dengan sangat tekun. Tak dipedulikannya matahari
terbit dan terbenan, tak dipedulikannya bulan mati
sampai purnama. Yang ada dalam dirinya hanyalah
berlatih, berlatih dan berlatih.
Membunuh Arjuna
Di Astinapura, para Kurawa dan Pandawa,
dilatih oleh Begawan Durna, mereka menerima
ilmu dari sumber yang sama, ilmu yang sama pula.
Hanya ketekunanlah membedakan penyerapan
ilmu ajaran Durna.
Kalau sang Arjuna memang dikisahkan sangat
cepat memperoleh ilmu ajaran sang Durna.
Kemampuannya menjadi ahli panah yang tiada
tandingannya.
Pada suatu ketika, dikisahkan oleh sang Dalang,
Arjuna harus berhadapan dengan Bambang
Ekalaya. Pendek cerita jurus demi jurus telah
digunakan, rapalan mantra dan ajian pun telah
digunakan. Akhirnya sang Arjuna, murid Begawan
Durna, bisa dikalahkan oleh Bambang Ekalaya dan
terbunuh. Dunia pewayangan pun geger genjik!
Betapa tidak, satria pilih tanding Arjuna - terbunuh oleh Bambang Ekalaya yang belajar ilmu kanuragan
di bawah pohon cemara.
Betapa kagetnya Bambang Ekalaya mendapati
sang Guru Durna dihadapannya. Maka sembah
tulus ikhlaspun dilakukan Bambang Ekalaya sambil
melupakan dukanya.
“Ngger Bambang Ekalaya, apa kamu bisa nuruti
permintaanku?” tanya sang Durna. “Apapun akan
kami berikan sang Guru” sahutnya. “We lah dalah...
coba aku minta cincinmu”. Dengan keikhlasannya
pula Bambang Ekalaya memberikan cincin mustika
Ampal di jari manisnya. Tiba-tiba Bambang Ekalaya
kehilangan semua kesaktiannya, lalu meninggal.
Pelajaran dari Bambang Ekalaya
Menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh
sangatlah berbeda dengan sekadar menerima
ilmu d