terjadi secara ‘maya’ dan terbawa ke ranah realita. Banyak hal yang seharusnya
berada dalam wilayah privat, terbawa ke publik, dan banyak hal yang sebenarnya
tidak etis untuk diucapkan dalam interaksi langsung, tetap berani diucapkan di balik
perlindungan mental virtual dan kerumunan. Oleh karena itu lah kemampuan
partisipasi dalam bentuk bagaimana kita berkoneksi dengan orang lain, menjaga
informasi tertentu, mengetahui batas-batas keterbukaan, membawa ranah maya
secara proporsional dalam praktik kenyataan, berkontribusi secara signifikan dan
baik dalam perputaran informasi, dan berbagi secara kritis informasi yang terolah
secara rasional dan personal. Partisiapasi menjadi bagian penting dalam berinteraksi
dengan teks, maka dari itu hal ini pun tidak bisa dilepaskan dari literasi di era digital.
Bagaimana kemudian ini literasi baru ini diterapkan tetaplah dengan cara yang
biasa, yakni via pendidikan. Membiasakan generasi baru dengan sikap kritis terhadap
apapun yang ia lakukan pada ‘teks’ digital akan membantu mereka mempersiapkan
diri untuk membangun era digital yang lebih positif, di tengah-tengah skeptisisme
dampak negatif era digital yang sukar untuk dinafikan. Bisa saja sebenarnya kita
berpikiran lebih konservatif dan mengambil jarak tertentu terhadap teknologi, namun
prinsip bahwa run or left behind menjadi sesuatu yang tidak bisa diabaikan. Bila
pendidikan sekarang masih hanya fokus pada bagaimana anak bisa baca tulis, maka
mungkin masyarakat yang tidak stabil, reaktif, dan bodoh bukan hal yang mustahil
terbentuk di masa depan.
(PHX)
14