Bluebird - Mutiarabiru Mutiarabiru Magazine - Oktober 2018 | Page 57

Going Places Transporter J ika ingin melihat budaya masyarakat sebuah kota, lihatlah kegiatan transportasinya. Demikian menurut Alvinsyah,pengamat transportasi publik dari Universitas Indonesia. Alvin menanggapi kompleksitas transportasi di Jakarta sebagai cerminan pola pikir masyarakatnya. Dia menggambarkan: pejalan kaki tidak mendapat tempat yang baik, orang yang naik angkutan umum dianggap kurang mampu, dan pengendara mobil mendapat predikat bergengsi. Inilah sejumlah kenyataan di jalan yang menunjukkan adanya “kelas” atau kasta pada transportasi masyarakat di Jakarta. “Jika Anda terbiasa naik mobil, apa Anda mau diminta naik kendaraan umum? Pasti Anda khawatir akan terkesan turun kelas kan?” ujar salah seorang pencetus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini. Padahal, menurutnya, orang Jakarta hanya menggunakan mobilnya sekitar 4 jam di jalan untuk pulang-pergi, selebihnya mobil itu terparkir di kantor dan di rumah. Dengan kata lain, orang Jakarta hanya menggunakan mobilnya seperenam saja dari masa pakainya. Sungguh sebuah gaya hidup yang tidak ekonomis dan menyita banyak lahan untuk parkir. Tapi, kenapa orang Jakarta tetap memilih kendaraan pribadi ketimbang berpindah ke transportasi publik? “Ada banyak alasan. Pertama, karena sudah terbiasa. Kedua, soal gengsi. Ketiga, karena transportasi publik kita belum betul-betul terintegrasi dari satu titik ke titik lain, sehingga orang khawatir akan menempuh waktu lebih lama untuk mencapai destinasi tujuannya,” ujar dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia ini. Namun terlepas dari kelemahan manajemen transportasi sipil, Alvinsyah percaya bahwa sumber persoalannya terletak di dalam mindset kita, yaitu soal gengsi dan kelas sosial. Orang cenderung untuk menghindari transportasi publik seperti Transjakarta atau Kereta Komuter yang sesak di jam-jam utama dan mengendarai kendaraannya sendiri meski harus menghadapi kemacetan. “Karena itu saya katakan budaya transportasi kita perlu proses ‘kastanisasi’. Bukan melanggengkan pencitraan kelas-kelas transportasi yang sudah ada, tapi justru membalik pencitraannya,” kata Alvin. Menurutnya, pejalan kaki dan pengendara sepeda perlu diberi “karpet merah”, sementara para pengguna mobil dan motor perlu diberi “ranjau” agar orang mau beralih ke transportasi publik demi mengurai kemacetan. “Inilah yang Karena itu saya katakan budaya transportasi kita perlu proses “kastanisasi”. Bukan melanggengkan pencitraan kelas-kelas transportasi yang sudah ada, tapi justru membalik pencitraannya. saya maksud dengan ‘kastanisasi’,” ujar master transportasi lulusan Universitas Michigan-Ann Arbor, Amerika Serikat ini. Push & Pull Dalam konteks hari ini, kebutuhan “kastanisasi” ini memang terasa semakin urgent. Sebentar lagi Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT) akan segera dioperasikan. Masyarakat Jakarta dan masyarakat remote area yang bekerja di Jakarta perlu diimbau untuk menggunakan transportasi publik demi mengurai kemacetan. Namun, bagaimana caranya mendorong orang agar mau berpindah dari kendaraan pribadi ke MRT, LRT, KRL, atau Transjakarta dan angkot? “Secara teori, caranya mudah. Hanya perlu melakukan push dan pull. Push artinya kita dorong pengendara pribadi untuk mau menggunakan transportasi publik, dan pull artinya kita tarik mereka dengan sejumlah kemudahan dan kelebihan dari jasa transportasi publik,” kata Alvin. Dia menjelaskan, perlu adanya tekanan untuk melakukan push, namun pada saat yang sama, pemerintah juga harus menyiapkan pull yang baik untuk menarik mereka ke jasa transportasi publik yang mudah, nyaman, tersedia di banyak titik, dan terintegrasi. Kebijakan three in one adalah salah satu push yang sudah lama diterapkan, begitu juga dengan penerapan pelat nomor ganjil-genap yang baru-baru ini berlaku lebih luas. Push lain yang sedang disiapkan adalah Electronic Road Pricing (ERP), sebuah teknologi transportasi yang membuat pengguna mobil membayar lebih mahal untuk memasuki jalan-jalan utama. “ERP adalah contoh dari ‘ranjau’ yang saya maksud. Ada banyak opsi untuk menerapkan push. Di antaranya adalah menaikkan tarif parkir menjadi sepuluh kali lipat atau mengurangi areal parkir di wilayah- wilayah utama. Dengan begitu, orang akan berpikir lebih panjang sebelum mereka memutuskan untuk membawa kendaraan pribadi atau tidak,” ujar Alvin yang kerap diminta pandangan akademisnya oleh pemerintah. TEKANAN | Perlu tekanan sistematis untuk mendorong masyarakat menggunakan transportasi publik. Mutiara Biru 55