Going Places
Transporter
J
ika ingin melihat budaya masyarakat
sebuah kota, lihatlah kegiatan
transportasinya. Demikian menurut
Alvinsyah,pengamat transportasi publik dari
Universitas Indonesia.
Alvin menanggapi kompleksitas transportasi
di Jakarta sebagai cerminan pola pikir
masyarakatnya. Dia menggambarkan: pejalan
kaki tidak mendapat tempat yang baik, orang
yang naik angkutan umum dianggap kurang
mampu, dan pengendara mobil mendapat
predikat bergengsi. Inilah sejumlah kenyataan
di jalan yang menunjukkan adanya “kelas”
atau kasta pada transportasi masyarakat
di Jakarta.
“Jika Anda terbiasa naik mobil, apa Anda
mau diminta naik kendaraan umum?
Pasti Anda khawatir akan terkesan turun
kelas kan?” ujar salah seorang pencetus
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) ini.
Padahal, menurutnya, orang Jakarta hanya
menggunakan mobilnya sekitar 4 jam di
jalan untuk pulang-pergi, selebihnya mobil
itu terparkir di kantor dan di rumah. Dengan
kata lain, orang Jakarta hanya menggunakan
mobilnya seperenam saja dari masa pakainya.
Sungguh sebuah gaya hidup yang tidak
ekonomis dan menyita banyak lahan
untuk parkir.
Tapi, kenapa orang Jakarta tetap memilih
kendaraan pribadi ketimbang berpindah
ke transportasi publik? “Ada banyak alasan.
Pertama, karena sudah terbiasa. Kedua, soal
gengsi. Ketiga, karena transportasi publik kita
belum betul-betul terintegrasi dari satu titik
ke titik lain, sehingga orang khawatir akan
menempuh waktu lebih lama untuk mencapai
destinasi tujuannya,” ujar dosen Fakultas Teknik
Sipil Universitas Indonesia ini.
Namun terlepas dari kelemahan manajemen
transportasi sipil, Alvinsyah percaya bahwa
sumber persoalannya terletak di dalam
mindset kita, yaitu soal gengsi dan kelas
sosial. Orang cenderung untuk menghindari
transportasi publik seperti Transjakarta atau
Kereta Komuter yang sesak di jam-jam utama
dan mengendarai kendaraannya sendiri meski
harus menghadapi kemacetan.
“Karena itu saya katakan budaya transportasi
kita perlu proses ‘kastanisasi’. Bukan
melanggengkan pencitraan kelas-kelas
transportasi yang sudah ada, tapi justru
membalik pencitraannya,”
kata Alvin.
Menurutnya, pejalan kaki dan pengendara
sepeda perlu diberi “karpet merah”, sementara
para pengguna mobil dan motor perlu diberi
“ranjau” agar orang mau beralih ke transportasi
publik demi mengurai kemacetan. “Inilah yang
Karena itu saya katakan budaya transportasi kita perlu
proses “kastanisasi”. Bukan melanggengkan pencitraan
kelas-kelas transportasi yang sudah ada, tapi justru
membalik pencitraannya.
saya maksud dengan ‘kastanisasi’,” ujar master
transportasi lulusan Universitas Michigan-Ann
Arbor, Amerika Serikat ini.
Push & Pull
Dalam konteks hari ini, kebutuhan “kastanisasi”
ini memang terasa semakin urgent. Sebentar
lagi Mass Rapid Transit (MRT) dan Light
Rail Transit (LRT) akan segera dioperasikan.
Masyarakat Jakarta dan masyarakat remote
area yang bekerja di Jakarta perlu diimbau
untuk menggunakan transportasi publik demi
mengurai kemacetan. Namun, bagaimana
caranya mendorong orang agar mau
berpindah dari kendaraan pribadi ke MRT, LRT,
KRL, atau Transjakarta dan angkot?
“Secara teori, caranya mudah. Hanya perlu
melakukan push dan pull. Push artinya
kita dorong pengendara pribadi untuk
mau menggunakan transportasi publik,
dan pull artinya kita tarik mereka dengan
sejumlah kemudahan dan kelebihan dari jasa
transportasi publik,” kata Alvin. Dia menjelaskan,
perlu adanya tekanan untuk melakukan push,
namun pada saat yang sama, pemerintah
juga harus menyiapkan pull yang baik untuk
menarik mereka ke jasa transportasi publik
yang mudah, nyaman, tersedia di banyak titik,
dan terintegrasi.
Kebijakan three in one adalah salah satu push
yang sudah lama diterapkan, begitu juga
dengan penerapan pelat nomor ganjil-genap
yang baru-baru ini berlaku lebih luas. Push lain
yang sedang disiapkan adalah Electronic Road
Pricing (ERP), sebuah teknologi transportasi
yang membuat pengguna mobil membayar
lebih mahal untuk memasuki jalan-jalan
utama.
“ERP adalah contoh dari ‘ranjau’ yang
saya maksud. Ada banyak opsi untuk
menerapkan push. Di antaranya adalah
menaikkan tarif parkir menjadi sepuluh kali
lipat atau mengurangi areal parkir di wilayah-
wilayah utama. Dengan begitu, orang akan
berpikir lebih panjang sebelum mereka
memutuskan untuk membawa kendaraan
pribadi atau tidak,” ujar Alvin yang kerap
diminta pandangan akademisnya
oleh pemerintah.
TEKANAN | Perlu tekanan sistematis untuk
mendorong masyarakat menggunakan
transportasi publik.
Mutiara Biru
55