Pemakaman kerap dikaitkan dengan
kematian, hantu, roh gentayangan, atau
sesuatu yang tak lazim dibicarakan. Saya
melihat kuburan sebagai sebuah catatan.
seperti buku. Semacam surat cinta yang
dituliskan di batu-batu nisan, meskipun
tidak semua begitu. Ada yang bahkan
tanpa nama, tanpa nisan, atau sudah
lenyap, roboh. Tapi begitu seseorang mati,
semua hal tentangnya menjadi diingat
kembali. Bahkan terkadang di nisan tertulis
sebab kematian. Kenyataan ada yang
hilang membuat sesuatu diingat kembali
meski hanya sebentar. Meski semua orang
tak memiliki catatan tentang hidupnya
sendiri, tapi setiap orang mungkin berhak
memiliki nisan. Sebab di sana ia yang tak
bisa menuliskan hidupnya dituliskan, atau
harus dituliskan oleh yang lain. Ia punya
kesempatan diingat walau hanya sejenak.
Karena itulah, pada akhirnya, setelah
beberapa lama menyambangi berbagai
kuburan di berbagai tempat, berdiam
di sana, dan melihat berbagai nisan,
saya menemukan bahwa makam, atau
pemakaman, atau lebih spesifik lagi
nisan, itu bukan cerita tentang kematian,
tapi perayaan atas kehidupan, - bukan
perayaan atas “kehidupan setelah kematian”
melainkan kehidupan yang pernah dialami,
dilewati, dan yang kini. Ia semacam bentuk
final dari amor fati. Jadi makam sebenarnya
tidak bicara tentang masa lalu atau masa
depan, tapi masa kini. Ia merumuskan yang
lalu dan yang akan datang sekaligus dalam
bentuk monumen. Pada kenyataannya, hidup
dicatat di sana, kendati tak setiap kematian
meminta pemakaman.
2