ARTISAN edisi 2 Artisan Issue 2 - PRESS | Page 2

Pemakaman kerap dikaitkan dengan kematian, hantu, roh gentayangan, atau sesuatu yang tak lazim dibicarakan. Saya melihat kuburan sebagai sebuah catatan. seperti buku. Semacam surat cinta yang dituliskan di batu-batu nisan, meskipun tidak semua begitu. Ada yang bahkan tanpa nama, tanpa nisan, atau sudah lenyap, roboh. Tapi begitu seseorang mati, semua hal tentangnya menjadi diingat kembali. Bahkan terkadang di nisan tertulis sebab kematian. Kenyataan ada yang hilang membuat sesuatu diingat kembali meski hanya sebentar. Meski semua orang tak memiliki catatan tentang hidupnya sendiri, tapi setiap orang mungkin berhak memiliki nisan. Sebab di sana ia yang tak bisa menuliskan hidupnya dituliskan, atau harus dituliskan oleh yang lain. Ia punya kesempatan diingat walau hanya sejenak.  Karena itulah, pada akhirnya, setelah beberapa lama menyambangi berbagai kuburan di berbagai tempat, berdiam di sana, dan melihat berbagai nisan, saya menemukan bahwa makam, atau pemakaman, atau lebih spesifik lagi nisan, itu bukan cerita tentang kematian, tapi perayaan atas kehidupan, - bukan perayaan atas “kehidupan setelah kematian” melainkan kehidupan yang pernah dialami, dilewati, dan yang kini. Ia semacam bentuk final dari amor fati. Jadi makam sebenarnya tidak bicara tentang masa lalu atau masa depan, tapi masa kini. Ia merumuskan yang lalu dan yang akan datang sekaligus dalam bentuk monumen. Pada kenyataannya, hidup dicatat di sana, kendati tak setiap kematian meminta pemakaman. 2