Agro Farm edisi 38 | Page 32

SATRIA PININGIT Foto : Istimewa Jawa Pos & Dendam Kemiskinan “S aya percaya, semua mahasiswa sama saja. Dari kampus kecil maupun kampus besar, tetap punya potensi yang bagus. Maka saya berharap para mahasiswa yang kuliah di kampus-kampus kecil di daerah tetap semangat dan mau terus belajar karena semua bisa sukses,” ujar mantan aktivis Pers Kampus IAIN Samarinda itu. Sebagai alumni Madrasah yang dididik di lingkungan pesantren, Dahlan tahu betul kendala para santri dalam mengembangkan diri adalah akses modal, kekuasaan dan pembinaan dari pemerintah.   32 32 Bahkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi pun, para santri kerap kesulitan. Terlebih di era Orde Baru, Pesantren dipinggirkan. Ijazahnya tak diakui setara dengan Sekolah Umum. Para santri saat itu, hanya bisa melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam. Maka ketika  mempunyai akses modal dan kekuasaan, Dahlan komit untuk memberdayakan kaum santri dan alumnus madrasah. Komitmen itu terlihat dari struktur karyawan Jawa Pos Grup yang dipimpinnya. Perusahaan media yang dipimpinnya itu  kini memiliki perusahaan media di berbagai kota-kabupaten hampir Dendam pada kemiskinan masa kecil membuat Dahlan berpikir bagaimana cara memberdayakan kaum muda di daerah yang sulit mendapat akses. seluruh Indonesia.  Mayoritas jurnalis di Jawa Pos Grup adalah alumni perguruan tinggi kecil di daerah-daerah. Mereka dididik oleh Jawa Pos, kemudian banyak yang moncer dalam kariernya sebagai jurnalis. Banyak pula alumni Jawa Pos, yang menjadi politisi, anggota parlemen, bahkan kepala daerah. Jawa Pos Grup menjembatani keterbatasan akses bagi para alumni madrasah, alumni perguruan tinggi di daerah untuk menjadi lebih berdaya dan mandiri.  Melalui Jawa Pos Grup, Dahlan juga membuka peluang kerja dan melakukan dinamisasi ekonomi, politik, sosial dan budaya di berbagai daerah, jauh sebelum otonomi daerah digulirkan. Berkaca pada pengalaman masa mudanya, Dahlan mengaku miris terhadap semangat anak muda sekarang. Ia yang pekerja keras sejak muda, mengaku heran dengan generasi hedonis, namun malas dan suka pada hal yang instan. “Perbedaan miskin dulu dan sekarang berbeda jauh. Perasaan saya dulu tidak terlalu menderita, walaupun orang tua tidak mampu. Bapak saya sangat miskin, buruh tani, serabutan penghasilannya gak tentu. Tapi sewaktu kecil, saya kok tak merasa menderita. Tak merasa terlalu sengsara. Tapi saat ini, 35 juta orang miskin di Indonesia mengaku sangat menderita. Karena sekarang, sambil miskin jalan-jalan ke mall, “ paparnya. AgroFarm l Tahun III l Edisi 38 l September 2013 GeoEnergi l Tahun I l Edisi 06 l Desember 2010