SATRIA PININGIT
Foto : Istimewa
Jawa Pos
& Dendam
Kemiskinan
“S
aya percaya, semua
mahasiswa sama
saja. Dari kampus
kecil maupun
kampus besar, tetap
punya potensi yang bagus. Maka
saya berharap para mahasiswa yang
kuliah di kampus-kampus kecil di
daerah tetap semangat dan mau terus
belajar karena semua bisa sukses,”
ujar mantan aktivis Pers Kampus IAIN
Samarinda itu.
Sebagai alumni Madrasah yang
dididik di lingkungan pesantren,
Dahlan tahu betul kendala para
santri dalam mengembangkan diri
adalah akses modal, kekuasaan dan
pembinaan dari pemerintah.
32
32
Bahkan untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi pun, para santri kerap kesulitan.
Terlebih di era Orde Baru, Pesantren
dipinggirkan. Ijazahnya tak diakui
setara dengan Sekolah Umum. Para
santri saat itu, hanya bisa melanjutkan
pendidikan di Sekolah Tinggi Agama
Islam.
Maka ketika mempunyai akses
modal dan kekuasaan, Dahlan komit
untuk memberdayakan kaum santri
dan alumnus madrasah. Komitmen
itu terlihat dari struktur karyawan
Jawa Pos Grup yang dipimpinnya.
Perusahaan media yang dipimpinnya
itu kini memiliki perusahaan media
di berbagai kota-kabupaten hampir
Dendam pada
kemiskinan masa
kecil membuat
Dahlan berpikir
bagaimana cara
memberdayakan
kaum muda di
daerah yang
sulit mendapat
akses.
seluruh Indonesia.
Mayoritas jurnalis di Jawa Pos
Grup adalah alumni perguruan tinggi
kecil di daerah-daerah. Mereka dididik
oleh Jawa Pos, kemudian banyak
yang moncer dalam kariernya sebagai
jurnalis. Banyak pula alumni Jawa
Pos, yang menjadi politisi, anggota
parlemen, bahkan kepala daerah.
Jawa Pos Grup menjembatani
keterbatasan akses bagi para alumni
madrasah, alumni perguruan tinggi di
daerah untuk menjadi lebih berdaya
dan mandiri. Melalui Jawa Pos Grup,
Dahlan juga membuka peluang kerja
dan melakukan dinamisasi ekonomi,
politik, sosial dan budaya di berbagai
daerah, jauh sebelum otonomi daerah
digulirkan.
Berkaca pada pengalaman masa
mudanya, Dahlan mengaku miris
terhadap semangat anak muda
sekarang. Ia yang pekerja keras
sejak muda, mengaku heran dengan
generasi hedonis, namun malas dan
suka pada hal yang instan.
“Perbedaan miskin dulu dan
sekarang berbeda jauh. Perasaan
saya dulu tidak terlalu menderita,
walaupun orang tua tidak
mampu. Bapak saya sangat miskin,
buruh tani, serabutan penghasilannya
gak tentu. Tapi sewaktu kecil, saya kok
tak merasa menderita. Tak merasa
terlalu sengsara. Tapi saat ini, 35 juta
orang miskin di Indonesia mengaku
sangat menderita. Karena sekarang,
sambil miskin jalan-jalan ke mall, “
paparnya.
AgroFarm l Tahun III l Edisi 38 l September 2013
GeoEnergi l Tahun I l Edisi 06 l Desember 2010