Agro Farm edisi 38 | Page 25

SATRIA PININGIT Dahlan Iskan, Pimred Agrofarm, Djoko Su’ud Sukahar dan Mustopha, Ketua penyelenggara pameran lukisan Bangkit. Saya rapatkan teman-teman. Saya katakan, kalau tidak merapat di kelompok besar, maka kita akan tergilas raksasa media lain. Akhirnya sahamnya saya kembalikan, dan tabloid saya yang bernama Oposisi itu menjadi bagian dari Jawa Pos Grup. Di Jawa Pos saya banyak membidani kelahiran tabloid-tabloid. Hubungan saya dengan Pak Dahlan Iskan, kendati resminya sebagai anakbuah, tetapi secara personal tidaklah seperti itu. Mungkin karena ‘asal’ saya dari kelompok luar, latar belakang kesenian yang mengedepankan kesetaraan, atau bisa karena ‘bengal’. Bahkan mungkin hanya saya yang memanggil Pak Bos ini dengan sapaan akrab ‘mas’. Pak Dahlan Iskan memang pribadi yang lugas, tegas, sekaligus santun. Kelugasannya tertuang dalam caranya menyelesaikan persoalan, simpel. Selalu didasarkan dari kesimpulan banyak pihak yang dipertemukan. Asas vox populi vox dei dia pegang teguh. Itu yang merangsang siapa saja dan dari strata mana saja selalu terpancing untuk bicara dan berpendapat. Namun kelugasannya itu bukan berarti Pak Bos ini tidak bisa marah. Kalau lagi marah, Pak Bos ini ‘ngawurnya’ ngalah-ngalahi setan. Pernah deretan keyboard di redaksi Jawa Pos dibabat habis. Saat senggang dan tidak dalam keadaan marah saya tanya, ‘apakah tidak rugi dengan kemarahan itu?” Jawabnya, “kan sudah saya hitung, berapa sih harga keyboard.” Maka ketika kursi petugas jalan tol yang belum datang dibuang saat terjadi antrian panjang, hampir semua orang Jawa Pos paham, itulah Dis kalau lagi ‘kesetanan’. Pak Dahlan juga pribadi yang santun. Biarpun bos, dia enak diajak bicara, dan gampang ditemui dimana dan kapan saja. Ketika menjabat sebagai Dirut perusahaan daerah di Jawa Timur, misalnya, kalau malam saya sering diajak berdua mendatangi perusahaan-perusahaan yang ada. Namanya sudah dikenal, tapi wajahnya belum banyak yang tahu. Maklum belum sesering sekarang masuk tivi. Maka saban di perusahaan daerah itu Pak Bos ini selalu berteriak. “Pak, saya Dahlan Iskan. Saya mau masuk untuk lihat-lihat ke dalam’. Dahlan orangnya juga sederhana dan tidak gengsi-gengsian. Ketika rumahnya belum pindah ke belakang Graha Pena Surabaya, saya sering datang. Saban minggu hampir dua tiga kali saya ke rumahnya, terutama mendekati anak-anak (teman-teman saya) gajian. Itu yang membuat saya akrab dengan keluarganya, istrinya, juga Isna, putrinya. Waktu itu Ulik (Azrul Ananda), putranya lagi belajar di Amerika. Di rumah itu Pak Dahlan menjadi agen koran Jawa Pos. Itu yang membuat rumah ini dinamis sejak subuh. Yang lucu ketika ada pelanggan komplain belum terima koran. Sopir pribadi dengan mobil mewah L 1 JP pun meluncur ke rumah itu, mengantar koran seraya memohon maaf. Dahlan memang bos yang beda dengan bos-bos yang lain. Setelah bertahun-tahun di Grup Jawa Pos saya mengundurkan diri. Itu karena saya risau dengan banyak jabatan. Saya yakin kalau mundur, maka jabatan itu bisa diisi banyak orang. Dan itu betul. Sejak itu saya menjadi kolumnis beberapa media. Selain di detik. com sampai sekarang, saya juga menuliskan ide dan gagasan saya di Rakyat Merdeka. Saya yang pernah dekat dengan Pak Dahlan itu nyaris tidak pernah kontak. Itu tidak hanya saya lakukan dengan beliau, tetapi juga dengan teman-teman saya yang sudah menjadi orang besar. Bukan apa-apa. Saya ingin tetap menjadi manusia marjinal. Manusia merdeka, yang bicara atas nama nurani, tanpa direcoki kedekatan, utamanya ketika melontarkan kritik-kritik konstruktif. Bagaimana dengan kemungkinannya Dahlan Iskan melenggang ke istana sebagai RI-1 atau RI-2? Menurut saya dia sangat layak. Dahlan adalah salahsatu putera terbaik negeri ini, yang insyaallah mampu menciptakan kemandirian bangsa. Semoga ! >>Tulisan ini pernah dimuat di Agrofarm tahun lalu. Sekarang dimuat ulang untuk melengkapi laporan Dahlan Iskan. AgroFarm l Tahun III l Edisi 38 l September 2013 25