SATRIA PININGIT
Dahlan Iskan, Pimred Agrofarm, Djoko Su’ud Sukahar dan Mustopha, Ketua penyelenggara pameran lukisan
Bangkit. Saya rapatkan teman-teman.
Saya katakan, kalau tidak merapat
di kelompok besar, maka kita akan
tergilas raksasa media lain. Akhirnya
sahamnya saya kembalikan, dan
tabloid saya yang bernama Oposisi
itu menjadi bagian dari Jawa Pos
Grup.
Di Jawa Pos saya banyak
membidani kelahiran tabloid-tabloid.
Hubungan saya dengan Pak Dahlan
Iskan, kendati resminya sebagai anakbuah, tetapi secara personal tidaklah
seperti itu. Mungkin karena ‘asal’ saya
dari kelompok luar, latar belakang
kesenian yang mengedepankan
kesetaraan, atau bisa karena ‘bengal’.
Bahkan mungkin hanya saya yang
memanggil Pak Bos ini dengan sapaan
akrab ‘mas’.
Pak Dahlan Iskan memang pribadi
yang lugas, tegas, sekaligus santun.
Kelugasannya tertuang dalam caranya
menyelesaikan persoalan, simpel.
Selalu didasarkan dari kesimpulan
banyak pihak yang dipertemukan.
Asas vox populi vox dei dia pegang
teguh. Itu yang merangsang siapa
saja dan dari strata mana saja
selalu terpancing untuk bicara dan
berpendapat.
Namun kelugasannya itu
bukan berarti Pak Bos ini tidak bisa
marah. Kalau lagi marah, Pak Bos
ini ‘ngawurnya’ ngalah-ngalahi
setan. Pernah deretan keyboard di
redaksi Jawa Pos dibabat habis. Saat
senggang dan tidak dalam keadaan
marah saya tanya, ‘apakah tidak rugi
dengan kemarahan itu?” Jawabnya,
“kan sudah saya hitung, berapa
sih harga keyboard.” Maka ketika
kursi petugas jalan tol yang belum
datang dibuang saat terjadi antrian
panjang, hampir semua orang Jawa
Pos paham, itulah Dis kalau lagi
‘kesetanan’.
Pak Dahlan juga pribadi yang
santun. Biarpun bos, dia enak diajak
bicara, dan gampang ditemui dimana
dan kapan saja. Ketika menjabat
sebagai Dirut perusahaan daerah di
Jawa Timur, misalnya, kalau malam
saya sering diajak berdua mendatangi
perusahaan-perusahaan yang
ada. Namanya sudah dikenal, tapi
wajahnya belum banyak yang tahu.
Maklum belum sesering sekarang
masuk tivi. Maka saban di perusahaan
daerah itu Pak Bos ini selalu berteriak.
“Pak, saya Dahlan Iskan. Saya mau
masuk untuk lihat-lihat ke dalam’.
Dahlan orangnya juga sederhana
dan tidak gengsi-gengsian. Ketika
rumahnya belum pindah ke belakang
Graha Pena Surabaya, saya sering
datang. Saban minggu hampir dua
tiga kali saya ke rumahnya, terutama
mendekati anak-anak (teman-teman
saya) gajian. Itu yang membuat saya
akrab dengan keluarganya, istrinya,
juga Isna, putrinya. Waktu itu Ulik
(Azrul Ananda), putranya lagi belajar
di Amerika.
Di rumah itu Pak Dahlan
menjadi agen koran Jawa Pos. Itu
yang membuat rumah ini dinamis
sejak subuh. Yang lucu ketika ada
pelanggan komplain belum terima
koran. Sopir pribadi dengan mobil
mewah L 1 JP pun meluncur ke
rumah itu, mengantar koran seraya
memohon maaf. Dahlan memang bos
yang beda dengan bos-bos yang lain.
Setelah bertahun-tahun di Grup
Jawa Pos saya mengundurkan diri.
Itu karena saya risau dengan banyak
jabatan. Saya yakin kalau mundur,
maka jabatan itu bisa diisi banyak
orang. Dan itu betul.
Sejak itu saya menjadi kolumnis
beberapa media. Selain di detik.
com sampai sekarang, saya juga
menuliskan ide dan gagasan saya di
Rakyat Merdeka. Saya yang pernah
dekat dengan Pak Dahlan itu nyaris
tidak pernah kontak. Itu tidak hanya
saya lakukan dengan beliau, tetapi
juga dengan teman-teman saya yang
sudah menjadi orang besar. Bukan
apa-apa. Saya ingin tetap menjadi
manusia marjinal. Manusia merdeka,
yang bicara atas nama nurani, tanpa
direcoki kedekatan, utamanya ketika
melontarkan kritik-kritik konstruktif.
Bagaimana dengan
kemungkinannya Dahlan Iskan
melenggang ke istana sebagai RI-1
atau RI-2? Menurut saya dia sangat
layak. Dahlan adalah salahsatu putera
terbaik negeri ini, yang insyaallah
mampu menciptakan kemandirian
bangsa. Semoga !
>>Tulisan ini pernah dimuat di Agrofarm tahun lalu. Sekarang dimuat ulang untuk melengkapi laporan Dahlan Iskan.
AgroFarm l Tahun III l Edisi 38 l September 2013
25