A & O Magazine Edisi XI Manusia & Alam September 2020 | Page 34

memilih dan dipilih bagi perempuan Indonesia telah langsung menjadi bagian dalam proses pemilihan umum.

Bukan itu saja, sebuah perusahaan konsultan internasional di bidang sumber daya manusia, Korn Ferry, pada tahun 2019 merilis data bahwa di Indonesia kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan 'hanya' berkisar 5 %. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat kesenjangan gaji antara laki-laki dan perempuan di Asia, yakni sebesar 15 %, atau bahkan secara global, yakni sebesar 16 %. Bahkan, untuk perempuan yang berada pada posisi yang sangat tinggi, perbedaan gaji berada pada kisaran 1,2 % dimana gaji perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki dengan posisi yang sama.

Pertanyaannya kemudian adalah, dengan berbagai kemajuan yang dialami oleh perempuan Indonesia, apakah memang perempuan Indonesia telah maju dan sejahtera? Apakah itu berarti bahwa perempuan Indonesia telah mencapai kesetaraan secara manusiawi, sebagaimana yang dicapai oleh laki-laki?

Data Departemen Pendidikan tahun 2017/2018 menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 18 ribu siswa dan lebih dari 13 ribu siswi putus sekolah di Indonesia. Berdasarkan data Susenas tahun 2009, terdapat berbagai faktor yang menyebabkan laki-laki atau perempuan putus sekolah. Masalah kesehatan, jarak sekolah yang jauh, dan biaya transport akibat jarak sekolah yang jauh adalah beberapa faktor yang menyebabkan baik laki-laki dan perempuan putus sekolah. Masalah spesifik yang dialami oleh laki-laki putus sekolah adalah kurangnya kemampuan mencerna materi pelajaran atau kewajiban untuk membantu menafkahi keluarga. Sedangkan masalah khusus yang dialami oleh perempuan putus sekolah adalah kewajiban adat untuk menikah, kehamilan, atau ketiadaan toilet khusus untuk perempuan.

Masalah pendidikan bukanlah satu-satunya masalah yang dialami oleh perempuan Indonesia. Masalah kekerasan terhadap perempuan juga merupakan satu masalah besar bagi perempuan Indonesia, terutama karena sistem perlindungan terhadap perempuan di Indonesia masih harus diperbaiki. Data Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskrim Polri menunjukkan bahwa pada 2020, Bareskrim telah menangani 2.834 kasus persetubuhan, 1.804 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan 1.518 kasus pencabulan. Sayangnya, satu rancangan undang-undang yang kemungkinan dapat menurunkan tingkat kekerasan terhadap perempuan, yakni RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, justru mulai tahun ini tidak akan dilanjutkan pembahasannya. RUU yang telah diajukan sejak tahun 2017 ini seakan jadi bola panas yang tak ingin disentuh wakil rakyat.

Selain itu, praktek pernikahan usia dini yang dilindungi negara lewat UU Perkawinan mengijinkan perempuan berusia 16 tahun untuk menikah juga masih menjadi kendala perempuan dalam mengembangkan diri. Praktek ini tidak hanya dilindungi oleh negara, namun juga seakan dilegitimasi oleh agama. Pernikahan usia dini rentan akan resiko fisik dan psikis akibat perkembangan tubuh dan mental yang belum matang.

Hal yang juga dilegitimasi oleh agama adalah sunat perempuan. Praktek sunat perempuan biasanya tidak dilakukan di negara maju. Selain di Indonesia, negara yang marak melakukan sunat perempuan adalah Somalia, Guinea, Djibouti, Mali, dan Sierra Leone.

Dalam hal legalitas Indonesia telah memiliki beberapa peraturan yang mewajibkan keterwakilan perempuan dalam bidang politik, seperti UU No. 2 Tahun 2008 yang memuat tentang keterwakilan perempuan dalam partai politik, UU No. 10 Tahun 2008 yang memuat tentang keterwakilan perempuan dalam partai politik baru serta jumlah minimal bakal calon wakil legislatif perempuan. Meski demikian, sebagaimana dilansir Tirto.id, keterwakilan Indonesia masih berada dibawah 20%.