A & O Edisi X Emansipasi Laki-Laki | Page 7

gendernya. Devaluasi terhadap peran gender, pembatasan, dan pelanggaran secara langsung berdampak negatif pada kehidupan laki-laki dalam segi kesehatan, karir, hubungan interpersonal, hubungan interpersonal, dan keluarga.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh O’Neil dkk. ditemukan empat pola konflik peran gender laki-laki. Pola pertama adalah Restricted Emotionality (RE). Akibat internalisasi maskulinitas yang sangat kuat, laki-laki mengalami keterbatasan dan bahkan rasa takut dalam mengekspresikan emosi. Ia juga kesulitan untuk mengetahui dan menggunakan kata-kata sebagai bentuk ungkapan perasaan. Pola selanjutnya adalah Restrictive Affectionate Behavior Between Men (RABBM). Budaya maskulinitas membatasi cara laki-laki untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran tentang hubungan interpersonal dengan orang lain. Selain itu, laki-laki mengalami kesulitan untuk bersentuhan secara fisik dengan laki-laki, seperti merangkul atau bergandengan tangan. Pola berikutnya adalah Success/Power/Competition (SPC). Hal ini adalah peran laki-laki dalam kaitannya dengan kompetisi dan kekuasaan dalam mencapai kesuksesan. Dalam hal ini, secara psikologis laki-laki merasa mengalami tekanan lebih besar untuk mencapai sukses atau untuk menunjukkan kemampuan diri. Pola terakhir adalah Conflict Between Work and Family Relations (CBWFR). Aspek ini menjelaskan gambaran kesulitan dalam menyeimbangkan komitmen pekerjaan/sekolah dengan hubungan keluarga dan teman. Penekanan yang lebih tinggi dalam hal pekerjaan seringkali mengakibatkan sedikit waktu luang atau relaksasi sehingga masalah kesehatan, stres, dan lembur cenderung terjadi.

Prinsip utama dari sosialisasi maskulinitas, paham, dan norma peran gender adalah dikarenakan adanya ketakutan akan konsep kewanitaan (O’Neil, 2008). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ketakutan akan kewanitaan dihasilkan oleh pengalaman konflik yang berhubungan dengan peran gender. Permasalahan psikologis laki-laki berkorelasi dengan paham maskulinitas kecemasan, masalah komunikasi, depresi, kesehatan, homofobia (ketakutan atau kebencian pada homoseks dan homoseksualitas), keintiman, konflik perkawinan, gangguan emosi, harga diri, penyalahgunaan zat, dan kekerasan terhadap perempuan. (Karina)

7 A & O Magazine / Juni 2020