A & O Edisi X Emansipasi Laki-Laki | Page 6

dipandang secara kaku, terbatas, ataupun pelanggaran terhadap diri maupun orang lain (O'Neil 1981b). Konflik ini membuat seseorang membatasi potensi dirinya atau bahkan potensi orang lain. Secara keseluruhan, konflik peran gender merupakan implikasi dari permasalahan kognitif, emosional, ketidaksadaran, atau perilaku yang disebabkan oleh sosialisasi peran gender yang dipelajari pada masyarakat yang seksis dan patriarkal (Nauly, 2002).

Konsep konflik peran gender (gender role conflict) dibentuk berdasarkan gambaran empat domain psikologis yakni kognisi (cognitions), pengalaman perasaan (affective experience), perilaku (behaviors), serta pengalaman bawah sadar (unconscious experience) (O'Neil et al, 1986). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa beberapa laki-laki yang telah mengalami konflik peran gender pada akhirnya juga bertindak sebagai penegak peran gender tradisional dengan menghukum dan merendahkan orang-orang yang menolak melakukan hal-hal sesuai dengan harapan peran gendernya (gender role expectations). Orang-orang yang secara terus-menerus mengalami hukuman dan merasa direndahkan karena menjalankan perannya yang tidak sesuai dengan gendernya cenderung menderita secara emosional, seperti munculnya kecemasan, menjadi rendah diri, menilai diri rendah, dan depresi (O'Neil, 1981b).

Terdapat beberapa situasi dapat membuat laki-laki mengalami konflilk peran gender. Dalam masa transisi, seperti dari masa kanak-kanak ke masa remaja, laki-laki dapat mengalami masalah terkait dengan peran gendernya atau ketika berhadapan dengan tugas-tugas perkembangannya. Masalah juga terjadi ketika laki-laki merasa melakukan pelanggaran atau ketika merasa gagal dalam memenuhi norma-norma peran gendernya. Konflik internal juga dapat terjadi akibat perbedaan antara konsep diri dengan konsep ideal maskulinitas. Laki-laki juga mengalami kekerasan, direndahkan dan dibatasi oleh dan kepada orang lain ketika melakukan penyimpangan norma peran maskulin.

Hal inilah yang akan membuat laki-laki mengalami devaluasi diri. Devaluasi diri adalah kritik negatif pada diri sendiri atau orang lain ketika menyimpang atau melanggar norma-norma peran gender stereotip atau paham maskulinitas yang berlaku. Pelanggaran atau penyimpangan peran gender mengakibatkan hilangnya kekuatan diri, status, dan hal-hal positif lainnya. Pelanggaran dapat menimbulkan penyiksaan bagi pelaku pelanggaran yang dapat membahayakan atau merugikan diri sendiri atau orang lain, serta dapat mengakibatkan sakit secara fisik maupun psikologis. Perilaku masyarakat dikontrol, potensi dibatasi, atau kebebasan manusia dikurangi demi memenuhi standar peran gender. Manusia dalam hal ini dibatasi sesuai

6 A & O Magazine / Juni 2020