A & O Edisi X Emansipasi Laki-Laki | Page 59

paling demokratis pertama sebagai upaya untuk menyalurkan aspirasi difabel. Ini merupakan peluang baik karena setiap orang boleh pilih langsung caleg dan capres sesuai hati nuraninya. Oleh karena itu, melalui program civic education, difabel kami dorong untuk memilih calon yang bisa membawa aspirasi difabel. Saat itu kami di SIGAB banyak memberikan pelatihan supaya teman-teman difabel mempunyai kesadaran kritis ketika memilih capres dan caleg. Hal-hal terkait akses pendidikan, pekerjaan, kesehatan, alat bantu, dan hak-hak difabel lainnya kami kupas tuntas agar bisa menjadi bekal teman-teman ketika berdialog dengan para kandidat. Selain itu, kami juga mendorong kaum difabel untuk maju sebagai caleg maupun capres, karena karena kami percaya bahwa nothing about us without us. Akses menjadi kata kunci penting saat itu, sementara sebelumnya aksesibilitas dalam pemungutan suara tidak mendapat perhatian. Oleh karena itu, kami mengadvokasi penyelenggara Pemilu agar menyediakan aksesibilitas bagi difabel, termasuk bilik, suaranya, kertas suaranya, dan TPS-nya juga. Untuk mengecek, kami adakan program pemantauan Pemilu dimana sebagian besar aktornya adalah difabel itu sendiri. Pemantau ini kami namai KEDIPP, Kelompok Difabel Pemantau Pemilu. Setelah Pemilu, kami juga melakukan pendidikan politik dan pemantauan Pilkada Langsung pertama. Dalam konteks advokasi, kami juga melakukan demonstrasi, memprotes praktik-praktik diskriminasi dalam penerimaan mahasiswa baru, penerimaan CPNS, hingga dalam kebijakan ketenagakerjaan. Media juga menjadi perhatian kami, dimulai dari training jurnalistik bagi difabel, disability awareness raising bagi jurnalis media mainstream, hingga menerbitkan majalah Solider. Selain itu, kami juga memberikan pendampingan kepada sekolah-sekolah untuk menjadi inklusif dan membuat Sanggar Belajar Pelangi untuk memberikan les privat gratis bagi anak-anak difabel dari keluarga tak mampu.

Bisa diberitahu jenis-jenis difabilitas?

Menurut Undang-Undang Penyandang Disabilitas Nomor 8 Tahun 2016, terdapat difabel fisik seperti amputasi kaki, amputasi tangan, dan pemakai kursi roda; difabel intelektual seperti down syndrome dan kesulitan belajar; difabel sensorik seperti netra, kesulitan bicara, dan tuli; difabel mental seperti schizophrenia dan anxiety; serta difabel ganda atau multi yakni orang yang memiliki lebih dari satu difabilitas. Nah, SIGAB itu menganut prinsip inklusi, sehingga kami menerima difabel maupun non-difabel sebagai pengurus maupun staf dengan hak yang setara. Di kantor kami ada yang low vision, netra, tuli, amputasi tangan, pemakai kursi roda, cerebral palsy, pemakai kursi roda, maupun non-difabel. Satu sama lain dapat bekerja sama dengan baik.

Lalu program apa saja yang telah dijalankan oleh SIGAB?

Kami menjalankan beberapa program, dari level desa hingga nasional. Di level desa kami punya program bernama „Ristisan Desa Inklusi“ yang disingkat menjadi RINDI. Program ini mengupayakan dialog strategis antara difabel, masyarakat dan pengambil kebijakan, karena inti dari program ini adalah partisipasi difabel, baik dalam pengambilan kebijakan maupun dalam pelaksanaan dan evaluasi pembangunan.

59 A & O Magazine / Juni 2020