A & O Edisi X Emansipasi Laki-Laki | Page 58

ke jurusan Sastra Indonesia UGM. Sembilan tahun setelah lulus sarjana, saya melanjutkan S-2 Development Studies di International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam di Den Haag. Saat ini saya sedang studi lanjut S-3 Human Services and Social Work di Griffith University Australia.

Bagaimana kisah ketika awal bergabung dengan SIGAB?

Di masa mencari pekerjaan setelah lulus kuliah, saya dikenalkan oleh sesama alumni dengan seorang aktivis difabel. Di lembaganya saya mulai ikut pelatihan-pelatihan komputer, kemudian membantu mengajar di sana, lalu terlibat dalam proyek-proyek capacity building organisasi difabel. Setelah itu, saya kenal dengan banyak orang sevisi lainnya. Hingga pada tahun 2003 kami mendirikan SIGAB, yang saat itu merupakan singkatan dari Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel. Dengan semangat baru, yaitu inklusi sosial, dan perluasan cakupan kerja ke seluruh Indonesia, nama lembaga kami pun berganti menjadi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia, disingkat SIGAB Indonesia. Dari sepuluh orang pendiri SIGAB, latar belakang pekerjaannya bermacam-macam, ada yang PNS di Dinas Sosial, ada yang baru lulus kuliah, ada yang sudah cukup berpengalaman sebagai aktivis difabel, dan ada juga yang sudah lama malang-melintang di gerakan masyarakat sipil dan ormas keagamaan. Latar belakang keilmuannya pun beragam, mulai dari ilmu sosial, agama, sastra, sejarah, pendidikan luar biasa, pertanian, hingga teknologi pertanian. Keragaman itu justru semakin menguatkan kapasitas sumberdaya manusia SIGAB. Saya sendiri diangkat menjadi direktur sejak tahun 2018, sekembali dari Australia.

Bisa diceritakan proses kuliah ke dan waktu kuliah di Belanda?

Tahun 2008 saya mendapatkan beasiswa International Fellowship Program yang memungkinkan penerimanya kuliah di luar negeri. Saya cukup beruntung mendapatkan beasiswa ini karena tidak ada persyaratan nilai TOEFL maupun IELTS. Akhirnya, dengan nihilnya kemampuan bahasa Inggris, saya tetap bisa bermimpi untuk kuliah keluar negeri. Setelah menjalani kursus bahasa Inggris di Jakarta dan Maastricht pada tahun 2008-2009, mimpi itu pun menjadi kenyataan. Saya mengambil program Development Studies di ISS Den Haag dengan spesialisasi Human Rights, Development and Social Justice pada tahun 2009-2010. Di Belanda inilah saya mulai mengenal assistive technology seperti magnifier dan reasonable accommodation yang disediakan oleh pemberi beasiswa dan kampus, sehingga perkuliahan dapat dijalani dengan lebih baik dan aksesibel. Sayangnya, di Indonesia hingga saat ini reasonable accommodation, assistive technology, dan aksesibilitas pendidikan belum mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.

Bisa diceritakan proses perkembangan SIGAB?

Pada tahun 2003-2004 SIGAB menangkap Pemilu paling demokratis pertama sebagai upaya untuk menyalurkan aspirasi difabel.

SOSIAL

LITAT SELITAR