A & O Edisi X Emansipasi Laki-Laki | Page 57

penglihatan saya berbeda dengan yang lain.

Hingga masuk SD saya nggak melihat apa yang dituliskan oleh guru di papan tulis. Kalau disuruh baca bareng saya ngikut saja. Tapi cukup beruntung karena saat itu ada buku teks yang dipinjamkan oleh sekolah. Ketika guru menulis di papan tulis, saya membaca buku teks yang untungnya tulisannya besar-besar. Di rumah, ibu saya mengajari membaca dan berhitung dengan buku itu, sehingga saya tetap bisa membaca, menulis, dan berhitung. Nah, waktu ujian THB catur wulan, tiap anak dibagi lembar ujian. Karena saya terbiasa belajar lewat buku, saya nggak ngerti harus ngapain dengan kertas itu. Tidak diberi tahu bagaimana cara mengerjakannya. Untunglah saya naik kelas.

Waktu kelas dua guru saya, Ibu Suwiyati, mungkin curiga, kok ada anak yang diam saja ketika diminta menyalin tulisan di papan tulis. Pada jam istirahat suatu pagi saya diminta tinggal di kelas. Beliau minta saya membaca cover buku presensi. Ternyata dari jarak 30-an senti saya hanya bisa baca tulisan yang hurufnya besar-besar. Setelah bukunya didekatkan ke mata saya barulah saya bisa membaca tulisan yang lebih kecil. Setelah asesmen itu, guru saya melakukan dua hal. Pertama, beliau memberi tahu hasil asesmen tentang kondisi penglihatan saya kepada orangtua, agar mereka lebih support kepada saya waktu belajar di rumah. Kedua, teman-teman yang duduk semeja dengan saya diminta untuk membacakan tulisan di papan tulis.

Untungnya, saya tidak diminta pindah ke SLB. Dan saya kira pengalaman saya itu merupakan salah satu praktik baik pendidikan inklusif yang cukup ideal, karena peer teacher dikembangkan sehingga anak-anak dibiasakan untuk saling support, bukan saling bersaing. Kalau saya dulu dipindahkan ke SLB, mungkin saya tidak berkembang seperti sekarang, karena kurikulum SLB lebih difokuskan pada kemandirian dalam hal bina diri, sedangkan kemampuan kognitifnya kurang dikembangkan. Asumsinya bahwa anak SLB kemampuan intelektualnya kurang. Di sekolah umum semangat untuk tidak tertinggal dari teman sebaya saya tumbuh, hingga hasilnya sejak kelas tiga hingga kelas enam saya selalu menempati runner-up. Padahal, sewaktu di kelas satu semua nilai saya enam, dan itu pun saya kira berkat belas kasihan sang guru.

Jadi, kunci keberhasilan saya sebenarnya adalah ketekunan. Di kelas saya mendengarkan penjelasan guru sambil mencatat sebisa saya. Kadang-kadang sambil membaca buku teks kalau yang diterangkan ada di sana. Sepulang sekolah saya pinjam catatan teman untuk saya salin di rumah. Kesempatan bermain saya jadi berkurang. Tapi, saya pikir tak apalah, karena saya memang ingin sekali bisa seperti teman-teman yang lain. Hasilnya, dari SD, SMP, SMA semua di sekolah negeri. Di kampung saya, sekolah negeri itulah yang favorit karena murah. Begitulah perjuangan masa kecil saya, hingga anak difabel dari pelosok desa ini bisa melanjutkan pendidikan ke jurusan Sastra Indonesia UGM. Sembilan tahun setelah lulus sarjana, saya melanjutkan S-2 Development Studies di International Institute of Social Studies of Erasmus University Rotterdam di Den Haag. Saat ini saya sedang studi lanjut S-3 Human Services and Social Work di Griffith University Australia.

57 A & O Magazine / Juni 2020