A & O Edisi X Emansipasi Laki-Laki | Page 56

Selamat siang, terima kasih atas kesediaannya diwawancarai oleh A & O Magazine. Sebagai awal, bisa diceritakan latar belakang Anda?

Saya lahir di Pati, anak kedua dari empat bersaudara. Kami tinggal di pelosok desa. Orangtua saya petani. Waktu saya masih kecil, orangtua saya tidak mengetahui bahwa saya difabel. Saya sendiri agak terlambat menyadari bahwa saya berbeda. Jadi, kalau main dan sekolah ya sama-sama dengan yang lain. Waktu tahun pertama sekolah TK saya belum didaftarkan secara resmi sama orangtua, hanya ikut-ikutan teman. Baru setelah tahun kedua mulai didaftarkan oleh orangtua. Jadi, TK saya lebih dari dua tahun. Kalau berangkat ke sekolah selalu sama teman-teman, tidak diantar oleh orangtua.

Nah, kalau guru menulis di papan tulis itu saya tidak lihat. Hanya kalau gurunya bicara saya mendengarkan, atau kalau diajak menyanyi bareng saya mengikuti. Suatu hari anak-anak diminta menggambar rumah, saya lantas membayangkan bentuk rumah saya, lalu saya gambar. Tak tahunya, ternyata ada contoh gambar rumah di papan tulis. Makanya, kata teman-teman, “Rumahmu salah, rumahmu salah!” Saya nggak merasa salah karena saya sudah menggambar semirip mungkin dengan rumah saya. Nah, waktu penilaian kan setiap anak harus membawa gambarnya ke meja guru untuk dinilai. Saat sampai di depan papan tulis itulah saya lihat ada contoh gambar rumah di sana. Gambar rumah “jelek” itu yang ditiru teman-teman. Tapi, kala itu saya masih belum menyadari bahwa penglihatan saya berbeda dengan yang lain.

Hingga masuk SD saya nggak melihat apa yang dituliskan oleh guru di papan tulis. Kalau disuruh baca bareng saya ngikut saja. Tapi cukup beruntung karena saat itu ada buku teks yang dipinjamkan oleh sekolah. Ketika guru menulis di papan tulis, saya membaca buku teks yang untungnya tulisannya besar-besar. Di rumah, ibu saya mengajari membaca dan berhitung dengan buku itu, sehingga saya tetap bisa membaca, menulis, dan berhitung. Nah, waktu ujian THB catur wulan, tiap anak dibagi lembar ujian. Karena saya terbiasa belajar lewat buku, saya nggak ngerti harus ngapain dengan kertas itu. Tidak diberi tahu bagaimana cara mengerjakannya. Untunglah saya naik kelas.

Apakah anda pernah tahu kalimat-kalimat diatas? Kalimat-kalimat diatas adalah penggalan lagu “Sekitar Kita” yang dipopulerkan oleh kelompok Musik “Krakatau” pada kisaran tahun 90-an. Lagu ini terkesan seperti pengejawantahan sila 5 Pancasila, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Bagaimana jika pengejawantahan sila ke-5 Pancasila tatarannya tidak hanya dalam bentuk wacana, tapi dalam bentuk kongrit. Seperti apa bentuknya?

Mulai Edisi X bulan Juni 2020 ini, A & O akan menurunkan rubrik “Sosial”. Rubrik ini berisi tentang organisasi atau perorangan yang melakukan kegiatan sosial, terutama kegiatan sosial yang berhubungan dengan dunia kerja. Rubrik “Sosial” yang pertama akan mengulas tentang Suharto. Ia adalah Direktur Sigab. Sigab adalah lembaga swadaya masyarakat yang terfokus pada tema disabilitas.

SOSIAL

Lihat Sekitar Kita

“bayangkanlah kita semua,

berjalan bersama,

menuju hidup damai sejahtera”

LITAT SELITAR

SOSIAL